"sudah belum nangisnya?"
tuan memastikan keadaan Anin yang sepertinya sudah letih menumpahkan tirta. sapu tangan kelabu menjadi tawaran tuan untuk menghapus air yang jatuh berantakan.
"ini, nanti cantiknya luntur loh kalau kelamaan nangis."
sudah mulai berani menyuarakan rayuan membuat Sabit sedikit lega tak lagi canggung membumbui tutur.
disambut telapak tangan terbuka mengambil kepunyaan lalu berpindah ke bawah kelopak dan membereskan urusan. selesai itu dia tak mempersilahkan tuan membawa pulang sapu tangan karena itu sudah basah dan dia bertanggung jawab mengumpah baru memberi izin membawanya pulang.
"malam ini rembulan aja cantik," kata tuan membuka suara setelah tadi hening.
"lalu?" menilik dengan tajam meminta penjelasan.
"lalu, nona juga harus cantik malam ini hehe."
merasa topik pembahasannya semakin aneh hingga tuan menggaruk tengguk yang tak gatal dengan senyum kaku.tapi ternyata, hal yang dipikir aneh cukup menghibur nona sehingga dia melahirkan tawa begitu lepas melupakan pilu.
"ha ha ha, kamu kalau lagi canggung lucu banget ya,"
yang diajak bicara sibuk sendiri menuang atensi pada ranum bibir nona begitu menawan dengan netra kian membentuk sabit membuatnya menjadi dikara mengalahkan permata. sanjungan berlebihan nampaknya tapi percayalah jika sekarang nona sedang cantik-cantiknya membuat Sabit terpana tanpa kedip netra.
"hei," sahut Anin mengayun tangan depan wajah tuan yang termenung.
"kenapa bengong? leluconku kelewatan ya?"
"ah, tidak nona. kamu bisa tertawa saja aku sudah senang. jadi aku berhasil menghiburmu,"
"lain kali kalau mau sedih jangan berlarut lama gak baik untuk dirimu. secukupnya saja sampai emosimu sudah reda baru dihentikan," lanjut tuan begitu sungguh memperingatkan.
"makasih Sabit."
"untuk?"
"tawaku, karena kamu udah menghibur hari ini."
"sudah menjadi tugasku nona."
"tugas? aku seperti tanggung jawabmu saja."
memang
"aku pamit, besok sapu tanganmu akan kukembalikan."
tungkai Anin hendak beranjak dari posisi dan merapikan surai tak karuan bentuknya.
"hmm nona," sedikit menunda kepergian.
"iya?"
"apa boleh kita bertukar nomor?"
sebisa mungkin Sabit menahan emosi agar tetap terlihat tenang padahal dalam benaknya sudah teriak merutuki permintaan lancang untuk mereka yang masih baru berkenalan.
permintaan tuan tak langsung dijawab puan, dia nampaknya masih menimbang. perlu menunggu setengah menit setelahnya puan meminta telepon Sabit untuk menyusun deretan angka kepunyaan.
"ini, nona ontel sebagai nama kontak."
puan memberi telepon dan memperlihatkan deretan angka.
"aku pamit tuan. terimakasih untuk hari ini."
melambaikan tangan sebagai salam perpisahan dan tak lupa kurva monoton.
selepas kepergian puan dengan tak terlihat lagi daksanya, Sabit mulai melepas oksigen yang tadi sempat membunuh karena dia menahan riuh setengah mati.
"ini baru nomor, nanti cara minta hatinya gimana ya?"
aduh, untung gak nampak gugup.
untuk sekarang nomor dulu yang dikasih, baru nanti hatinya.