"ayo ikut aku!"
segera telapak tangan itu diisi oleh ruang-ruang jari lainnya.
"mau kemana?"
"cari obat pereda marah"
"emang ada?"
"ada dong."
mereka langsung beranjak pergi dari pijakan menuju destinasi yang lain.
masih dengan sungut-sungut dia pergi membawa Anin dengan balutan sabar meladeni mood kekasih yang tak jua membaik.
hanya mengandalkan tungkai sebagai kendaraan aman polusi. taruna membawa Anin ke lapangan rumput hijau dipenuhi ilalang cokelat dengan tanah sebagai alas duduk terbaik.
"kita mau buat apa disini?"
"duduk hingga swastamita tiba."
Anin nurut dengan uluran hasta meminta duduk di sebelahnya. waktu menunjukkan segera memasuki petang dan lapangan tak banyak pengunjung hanya ada beberapa kepala. ramai suara juga kalah dengan sahutan klakson kendaraan. letak lapangan ini memang masih dikatakan tidak jauh dari jalan raya.
"marahnya udah belum nih?"
"masih."
"ya sudah, aku tunggu sampai selesai deh."
Sabit tak ingin bergelut dengan emosi Anin. yang bisa dia lakukan sekarang hanya mematung hingga kekasih mau membuka tutur.
wanita memang begitu, jika ditanya mau apa jawabannya selalu terserah. tapi ketika diberi saran selalu memberi penolakan. maka cara Sabit menghindar dari amukan pacar hanyalah diam.
"Sabit."
akhirnya marah sudah pergi.
"iya," melirik sumber suara yang menyuarakan asma.
"kalau aku tanya apa alasan kamu cinta sama aku, apa punya jawaban?"
"oh tentu."
"tapi kata kebanyakan orang, cinta itu gak butuh alasan."
"itu salah. setiap ada rasa disitu Tuhan memberi kita logika untuk mencari sebuah jawaban."
"lalu apa alasan jatuh cintamu?"
"alasannya adalah karena aku yakin kalau kamu pasti jodoh yang Tuhan kirim."
"jika bukan aku bagaimana? kamu terlalu percaya diri."
"semua bisa kalau berdoa. tapi...
tutur taruna tak selesai pada ujung arti. memberi jeda untuk puan mencerna lebih dulu. terlihat jelas raut wajah meminta kelanjutan kata dengan binar pupil monoton pada netra Sabit. taruna ingin bermain dulu dengan rasa penasaran kekasihnya ini, menelantarkan dia dengan balutan cemas.
"tapi apa?" tanya Anin seraya memberi sedikit goncangan pada kekar lengan, menuntut sambungan tutur taruna.
"tapi kita harus berdoa bareng. biar cepat didengar sama Tuhan."
"kirain apa. kamu suka banget buat penasaran."
"ayo berdoa!"
ajak taruna masih dengan atensi semakin bernas. enggan melepas tatap melewatkan jelita sang kekasih dengan hembusan anila cukup membuat surai puan mengikuti arah horison.
bukan dua lipatan melainkan satu. telapak tangan puan tersembunyi dalam kepungan lipatan taruna yang tadi meminta agar mereka satu dalam pergumulan.
"kamu diam aja. biar aku yang pimpin dalam doa."
puan hanya menganggukkan kepala.
Tuhan, ini kami anak-Mu
Terimakasih buat hari ini kami masih bisa menerima berkat melimpah dan terimakasih karena Engkau mempertemukan kami sampai sejauh ini
Kami harap hubungan sekarang akan sampai di depan altar-Mu
Hanya maut yang mampu memisahkan kami
Dalam nama anak-Mu kami mengucap syukur"kita amin bersama!" kata taruna meminta lantunan amin paling serius dari ranum puan.
"Amin." serentak mereka menyebut amin agar pergumulan sampai ke telinga Tuhan.