"duabelas kali dua berapa?"
"dua puluh empat."
serentak mereka menjawab dengan satu jawaban tanpa keliru membuat tuan melukis kurva karena letihnya memberi pengetahuan terbayar dengan jawaban benar.
"pintar, kalian bisa memahami semua pelajaran ini dengan cepat. oke, sekian dulu ya. besok kita lanjut dengan materi baru."
"terimakasih komandan,"
"sama-sama, kalian main dulu sana," ujar tuan mengakhiri pertemuan lalu menyusul puan yang betah memantaunya sibuk bergelut menyuapi ilmu.
"kamu kenapa senyum-senyum seperti itu? ada yang lucu?"
disambut dengan kurva menghadirkan tanya namun hanya dibalas dengan semakin melebar lengkung.
"gak ada, saya cuma bangga sama kamu. masih ada saja pemuda yang mau menghabiskan waktu mendidik anak jalanan yang kalau dipikir dengan akal tak ada untung."
"saya hanya melakukan yang seharusnya mereka dapatkan. mereka juga manusia yang butuh ilmu, kasta menjadi perbedaan dalam pendidikan. orangtua sudah menghukum mereka dengan menelantarkan berkatnya dan sekarang saya hanya bisa membantu dengan menjadi guru. karena paham betul bagaimana rasanya dijadikan sampah masyarakat. tak ada orangtua dan juga tak bisa mendapat kasih sayang,"
"kamu lihat, siapa yang lebih beruntung disini?"
"maksudmu?"
"tadi saya bilang akan bawa kamu ke tempat berlatih rindu dan caranya bersyukur."
"lihat mereka semua. tidak punya rumah, tidak punya orangtua dan dengan begitu saya rasa sekarang kamu sudah tahu bagaimana berlatih rindu."
"nona, sudah saya katakan kita semua akan kembali menjadi debu ketika waktu tiba. sudah menjadi tugas kita yang ditinggalkan belajar melepaskan tanpa menyesali kematian. kalau kamu saja belum siap apalagi ayah bunda mu yang di surga sana, mungkin mereka menangis melihat gadis kecilnya tak bisa tumbuh dewasa."
sepasang telinga yang mendengar sedikit merasa perkataan tuan obat atas segala pilu dalam hati. diliriknya tuan dengan tatapan melayu karena pelupuk kini menampung tirta seakan hendak tumpah.
melihat itu Sabit kalut pada tirta yang segera tumpah dan dia mengisi ruang jari tak lupa belaian penuh kasih.
"saya perlu senderan, sediakah bahumu?"
Anin meminta izin dan disuarakan iya oleh sang empunya. sejadi mungkin dia menahan agar tak mengalir namun upayanya nihil, semakin ditahan semakin ingin menangis.
"mari berpindah tujuan? supaya kamu lebih tenang,"
hanya dijawab dengan anggukan mengikuti tuan yang kini masih nyaman bergenggaman.
di atas gedung mereka memijakkan tungkai dimanjakan dengan pemandangan kota dari kejauhan.
"disini kamu bisa menangis sekuat mungkin dan kalau mau bisa teriak,"
puan menatap sungguh netra cokelat itu seakan meminta izin takut membuat tak nyaman dan tentu tak ditolak olehnya.
"ayah bunda, Anin rindu. bagaimana ini? aku gak punya teman cerita sekarang. bahkan mau makan saja aku sering ingat kita yang dulu, Anin belum siap hiks hiks hiks."
sejadi mungkin dia menumpahkan segala tirta yang tadinya malu ditunjukkan. kini untuk berdiri saja puan tak mampu bertumpu karena tungkai gemetar akan meluruh kehilangan keseimbangan.
"nona," sigap tuan menangkup daksa yang hendak hambur ke tanah.
"Sabit, aku rindu mereka." entah mengapa terlintas dipikiran nona memeluk daksa karena dia rindu kehangatan yang biasa dia rasakan bersama ayah bunda.
hastanya terulur menyambut tuan menghampiri. begitu nyaman dia melingkarkan kepala dipenuhi balutan lengan.
"menangislah nona, keluarkan semua luapan emosimu. lalu berhenti jika memang dibutuhkan,"
belaian lembut pada surai Anin membuatnya merasakan hangat yang dirindukan seakan tuan mahir menenangkan gelombang nestapa.
waktu nona menangis cukup lama tetapi tuan betah menanti, mengatup suara dan mendengar tangisan duka sang pemilik luka.
"Sabit."
"hmm."
"kalau sekarang saya melunasi utang itu kamu sudah mempersiapkan telinga?"
puan masih dalam dekapan menuang tanya pada pemilik daksa.
"gak usah dipaksa, saya akan tunggu sampai kamu siap."
"bahkan dari dulu saya sudah siap namun hanya ingin mengulur waktu saja,"
pelukan itu mulai melonggar karena sepihak memutuskan melepas berganti dengan tatapan penuh keseriusan.
"boleh saya tahu jawabanmu?"
"siapkah dirimu menjadi kawan melewati hari melawan duka?"
"tentu nona,"
"begitupun dengan saya."
"jadi?"
"sayang."
"astaga," tuan menepuk dahi melupakan sesuatu.
"kenapa?" penasaran dengan tingkah tuan yang nampak aneh.
"saya lupa membawa polaroid."
"untuk?"
"mencuri potret kembali tapi dengan izin sang pemilik dan status pacar,"
seketika semburat merah muda menghiasi pipi mungil puan, menjadi salah tingkah atas perkataan manis pujaan hati.
"kita balik?"
"ayo," tuan dengan sigap menyerbu ruang kosong jari puan begitu senang tak karuan layaknya mendapat undian. kurva itu abadi dipamerkan namun hanya untuk puan saja.
____________________
akhirnya mereka resmi berpacaran!
percayalah, aku sering sekali senyam senyum saat membuat cerita ini.
entah karena apa :)baiklah, mari tunggu lembar selanjutnya.
akan aku usahakan menuntaskan tahun ini.