peranti menunjukkan tiba waktu dini hari dengan angka nol kembarnya. Anin masih setia menanti tuan yang katanya akan bersua setelah selesai bergelut dengan pekerjaan.
"halo nona," sahut Sabit yang kini sudah melangkahkan tungkai ke meja puan. tuan langsung memposisikan letak depan kursi nona namun terpaku tegak.
"halo juga," Anin menyambut tutur tak kalah lembut.
semakin hilang akal nona menerima lengkung manis itu begitu tak jemu dipamerkan. andai Sabit tak punya telinga mungkin dia akan lantang memekik gejolak asmara.
"apa boleh saya mendapat izin untuk jadi teman cerita?"
tanya yang disuarakan tuan memperlihatkan jika dia tak mau begitu lancang berdekatan.
"diizinkan."
jawaban yang tepat membuat tuan langsung menyerbu kursi dan tak melepas tilik netra dari roman puan.
"kenapa sudah larut main kesini?"
"saya hanya ingin mencari angin. di rumah terlalu bosan," ujar Anin berusaha tak terlihat gugup karena dia baru saja berdusta.
"tidak dilarang orangtuamu?"
pertanyaan Sabit seketika membuat puan melayu dengan kepala enggan terangkat kembali. tuan yang sadar perubahan itu langsung mengalihkan bahan percakapan.
"boleh saya merakit kawan denganmu?"
"tentu."
hening kembali menghampiri mereka, tak ada yang berani membuka suara. Anin yang gugup masih saja memilin jari di bawah meja dengan bibir mengatup tak ingin memulai tutur.
"masih lama disini?"
Sabit hanya berusaha menghilangkan senyap untuk memancing puan tertarik lebih mendalam.
"sebentar lagi," singkat saja jawabannya.
"malam begini pulang dengan siapa? pacar?"
"tidak," sigat dijawab olehnya agar tak ada salah paham.
"Anin,"
puan yang merasa asmanya disebut langsung melihat sumber suara pertanda dia bertanya kelanjutan tuan.
"kalau nanti saya ingin kenal lebih dalam tentangmu, apa diizinkan?"