❍serimala ceritera

95 56 3
                                    

sejak status sudah menjadi pasti dua insan ini semakin sedekat nadi. puan yang terbiasa sendiri perlahan mulai mengikis sepi dan merajut ribut bersama pujaan hati. benar kata bumi, ketika cinta berkelana dalam hati maka segala sengsara tenggelam karena sudah menemui obat luka.

"Anin."

puan merasa terpanggil mengalihkan atensi kepada taruna di sebelahnya yang tak jua melepas genggaman.

"apa yang kamu takutkan ketika ajal sudah menjemput?"

"mungkin... takut kehilangan kamu?"

"kenapa harus aku?"

pasokan udara kembali ditarik masuk melalui cela pernapasan. semilir angin ribut membuat surai puan berterbangan menyembunyikan rupawan kepunyaan. taruna itu memulai aksi dengan menyisipkan beberapa helai di belakang daun telinga.

"karena kamu yang selalu jadi obat ketika si nestapa mulai menerjang."

"aku gak bisa banyak cakap untuk bilang seberapa besar rasa sayangku tapi bisa kamu lihat dari tindakanku."

"memang kamu udah berbuat sejauh apa?"

"menyerahkan seluruhnya termaksud hati ini."

si taruna ini merasa tertampar entah karena apa. dia rasa puan terlalu menaruh segala harap untuk dirakit bersama. padahal semua manusia tetap sama, akan tetap pergi dengan segala alasan.

"jangan terlalu sibuk merancang mimpi, sayang. aku tahu perasaan kamu sangat besar, namun aku juga tetap manusia yang tak selalu bisa tepat janji."

"Sabit, kamu kalau mau pergi harus dengan izin yang masuk akal. karena kalau tidak, aku tak akan terima."

"memang saya mau kemana?"

"entahlah, hanya Tuhan yang tahu."

pundak taruna siap sebagai sandaran ketika puan ingin bergelut manja merindukan kasih sayang. sungguh, mahkota taruni ini menjadi kesukaan karena lembutnya terasa telapak menyapu setiap helai.

tempat bersejarah selalu menjadi destinasi mereka saat malam minggu tiba. katanya, biar afeksi kembali terulang manis.

sudah terhitung seratus hari mereka jadian dan sejauh itu juga semakin bertambah rasa. Sabit masih sama dengan awal jumpa, selalu membumbui bibir manis dan puan masih malu seakan belum terbiasa.

"sayang," sekarang Anin yang bergantian membuka tutur.

"iya Anin?"

"Sabit suka gak kalau Anin dekat sama pria lain?"

menimbang-nimbang pertanyaan yang terlontar dari bibir mungil ini, lama- sangat lama dia berpikir seakan pertanyaan tak memiliki jawaban.

"memang pacar aku mau dekat sama siapa lagi sih? hmm?"

"aku cuma mau punya rencana b kalau kalau kamu berlabuh ke hati lain."

"tentu tidak! gak ada nona yang semanis Anin."

kalian pasti paham sekarang seperti apa pipi taruni yang sudah berubah warna menahan malu.

"ah, sekarang saja bilang tidak. tadi katamu semua manusia tak bisa menepati janji, jadi aku berpikir mungkin itu kode karena kamu mulai merasa bosan- mungkin?"

"astaga, kamu itu mikirnya terlalu jauh banget. sampai kapanpun hatiku akan tetap berlabuh disini," seraya menunjukkan letak sepenggal hati lain yang ada dalam diri puan.

"aku gak tahu kalau sampai kamu pamit sebagai pelakon utama dalam skenario hidupku."

"hidup dan mati hanya rahasia pencipta. sudah menjadi tugas kita siap mengatasi dukacita,Anin."

tutur bahasa Sabit membuat ketakutan Anin semakin nyata. seakan dia bisa membaca pikirannya. ditilik wajah tuan dari segala sisi, mulai dari mata, hidung dan jatuh ke bibir. tanpa disadar air mata sudah jatuh dari singgasana kepolak netra.

"kenapa nangis? aku salah ngomong ya?"

tak karuan menanggapi sendu si puan secara tiba-tiba tanpa ada gerangan.

"ah tidak, kamu terlalu tampan sampai aku terpesona."

"terpesona kok nangis?"

"hehehe."

canggung sudah suasana. memutar logika untuk mencari alasan yang sudah tak masuk akal. jika ditanya jawaban jujurnya, Anin menangis karena takut semakin bergejolak memompa kebisingan riuh dalam isi kepala.

Siram Buku Ini ; Hwang Hyunjin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang