kring
bunyi genta menggema ketika pintu membuka mulut menyambut sepasang lapik hitam kemudian mencari posisi nyaman di sudut ruang.
"mas," sapanya seraya menganjung hasta.
perawakan sedikit santai dengan buku lembayung setia dalam kepalan serta lensa mengantung pada batang hidung. daksa hanya diselimuti sehelai gaun.
"mau pesan apa?"
pelayan mendatangi lalu menawari sederet menu. celemek putih tentu tak akan pernah melucuti.
"kopi latte satu."
"baik, mohon ditunggu." meninggalkan gadis itu sendiri lagi.
"Anin, besok jangan kopi."
si hawa merutuk seperti biasanya, seakan ada lawan bicara namun hanya seorang diri.
lembar pertama dibuka dengan laun. bibir itu merapal satu persatu aksara yang tertuang di dalamnya.
"kalau diingat-ingat dulu aku manis banget bisa melahirkan puisi seperti ini."
╭┈─────── ೄྀ࿐ ˊˎ-
╰┈➤ ❝ teruntuk senja saja
terimakasih telah merebut lukadan esok fajar kembali bersuara
senyum ini melahirkan gembirasajak menemani kesunyian dalam dirinya. masih belum sadar dalam halusinasi itu ada satu talenta yang terkubur karena tak giat dikikis.
"kopi latte meluncur."
nampan terletak di atas meja dan menampilkan secangkir kopi dengan aroma menggoda untuk segera dicium bibir nona.
"terimakasih," hawa melukis segaris senyum dan dibalas anggukan kepala.
segera tangan itu mengambil dan menujukannya pada bibir merah muda.
kemudian netra berkelana menilik nabastala kota jogjakarta yang begitu elok rupa. hari ini awan sedang gembira nampaknya karena tak ada tangis yang jatuh ke bumi.
"sekarang bumi sedang berpihak padaku," ujar puan menarik senyum paksa.
cekrek
saat Anin begitu sungguh menuang atensi pada puluhan roda melintas, tiba-tiba ada pemuda dibalik kaca berdiri tegap menghadap Anin dengan polaroid hitam yang lolos mencuri potret dirinya. hoodie hitam pun ikut menutup aurat.
"hei," lantas itu membuat Anin kesal kepayang. tanpa izin menjadikannya sebagai objek.