dalam graha seorang puan bergeming entah sampai mana logika berkelana terus mencari jawab atas gundah dalam sukma yang jika ditanya bagaimana kejelasan atas debar tertuai oleh tilik netra sang tuan pasti dia pun sedang mencari.
"tolong aku, bunda. rasa seperti apa ini?"
sedari tadi puan hanya bergerak tak karuan seraya melilit surai. ada begitu banyak tanya tertuang dalam relung risau.
"apa Anin jatuh cinta?"
langsung kepala tergeleng menyuarakan bahwa ia tak setuju dengan akal yang entah darimana datang, "tidak mungkin. baru bertemu masa iya langsung jatuh cinta?"
terus saja mencari hingga detik terlampau jauh dilewati hanya untuk merenungi, sudah larut malam namun ia masih bergelut dengan pemikiran.
"bunda tolong Anin! aku harus cari jawabannya kemana?"
figur terbalut bingkai kenangan begitu betah dalam cengkraman puan. netranya tak mau berpindah haluan dari sosok wanita dengan lengkung manisnya. terus terpaku dengan isi kepala seperti tak ingin membuatnya rehat dengan ambigu ini.
"kuharap ini tak akan berlanjut lama."
satu harap dalam doanya mulai bertambah oleh nama tuan. seutas memori kembali terulang dengan hujan jatuh mencium tanah begitupun Anin jatuh mencium aroma tuan serta netra begitu elok rupa. jarak itu begitu rapat membuat siapapun insan dapat dengan jelas mendengar degup jantung seakan memompa kehilangan nafas tapi entah mengapa tuan ini merasa seperti semua masih tak melampaui batas.
"aaa... bisa gila aku lama-lama."
beranjak dari ranjang menuju tirai yang digapai kemudian membukanya, membuat hawa dingin masuk ke dalam ruang namun puan nyaman.
riuh suara kendaraan bersahutan di tengah jalan dan Anin tak lagi merasa kesepian di dalam bangunan yang sepi penghuni.
"aku harus cari tahu ini. Anin gak boleh tidur bersama rasa tidak jelas ini."
dengan segera ia beranjak dan hastanya menggapai kaos hitam jua dengan celana biru kesayangan. sepeda ontel yang tersimpan mulai kembali muncul karena pemilik ingin meminjamnya untuk menghampiri satu tujuan.