semilir angin beku menusuk pemalut menyatu daksa dengan hembusan hawa namun tak jadi halang untuk hendak bersua tuan sebagai jawab atas ragu melantuni malam risau hingga kelopak tak kunjung mengatup.
dua roda berpacu mengejar garis tuju dengan secucur lelah mulai jatuh dari ujung surai. aneh sekali, malam ini dingin namun Anin masih merasa letih menggayung sepeda yang hanya tertuang sedikit tenaga.
"aku harap akan segera mendapat jawab."
tempat itu memang tak menutup pintu hingga kapanpun. tersedia bagi seluruh penjuru yang manusianya ingin bertamu meninggalkan nestapa dan pulang dengan lengkung harsa.
setelah dasa menit bergelut dengan ayunan sepeda tibalah Anin pada satu tujuan yang akan menjadi obat gelebah. netra mulai menyusuri hendak mendapati satu insan yang sungguh menjadi kunci.
"dimana dia?"
terus saja terpacu mencari daksa tuan dengan tak jeda pada kedip kelopak. ketika yang dicari mulai terlihat netra, dia memutuskan duduk pada sebuah kursi di sudut ruang dengan alasan agar tuan tak sadar kehadirannya.
lalu datang seorang pelayan dengan celemek khas putihnya mulai tutur dengan menuang tanya menu yang akan disuarakan bibir Anin.
"kopi latte, mas."
"siap, mohon ditunggu."
pelayan itu kembali ke asal dengan membawa secarik kertas tertulis akasara.
"semoga dia yang antar pesanan aku."
begitu ingin bersua tuan yang kini sibuk bergelut dengan pengunjung di seberang meja. Anin menuang atensi pada si tuan yang betah berceloteh bersama lawan bicara.
"Sabit, antar ini ke meja nomor sebelas," kata seorang taruna memerintah.
"secangkir kopi latte pesanan nona telah tiba," ujarnya seraya memindah posisi cangkir dari atas nampan menuju permukaan meja.
ketika dia menilik siapa gerangan di depannya, bola itu bulat sempurna.
"nona sepeda ontel," sapa Sabit dengan gembira tak lupa lengkung manisnya.
"eh, maksudku Anin."
Sabit menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali, terlihat masih kaku memulai cakap. hanya menyapa saja, lalu Sabit kembali ke ruang entah apa namanya.
"ya Tuhan, disapa begitu aja aku udah kalah."
semakin tak tenteram logikanya. kemudian Anin mulai mencumbu bibir cangkir dengan menyesap lamban agar kopi turun melalui tenggorakan dan dapat dirasakan begitu dahaga terpuaskan.
ketika Anin sibuk dengan kopi lantas membuatnya lupa daratan hingga tak sadar ada daksa tuan di depan membawa kertas kecil.
"dari Sabit."
kata taruna itu setelah menaruhnya tepat di hadapan Anin.
nona, jangan pamit dulu. tunggu aku menyelesaikan tugas ini baru kutemani dirimu merayakan malam.
Anin mencari sosok yang mengirim pesan ini. tuan itu tersenyum namun tak terihat lengkung saat puan mendapati hadirnya di seberang meja seraya berpose v padanya. Anin hanya bisa membalas dengan senyum.