tersandung dikala jalan mulai tersentuh rinai, terabai dikala insan menutup telinga tak sudi mendengar, terajut dikala tuan mulai membumbui bunga bibir dan terangak dikala ayah bunda sudah menyatu dengan permukaan.
arunika telah tiba namun tak ada senja yang menampakkan diri dengan bangga karena puan meminta sang pencipta menyimpan dia, dihalang pokok kayu menjulang tua.
Anin masih dengan rasa kecewa tapi senantiasa berlatih percaya. melantuni doa dengan tirta deras terjun melewati wajah, telapak tangan siap menampung duka.
puspa melati dan mawar begitu kasturi menjadi patam di atas makam mengingatkan pada tempo kelam. nirwana memeluk ayah bunda yang selalu menjadi teman menghadapi masalah.
"ayah bunda."
Anin masih bersimpuh menatap gumpalan tanah tertulis nisan pada tanggal kematian yang sama namun beda letak warsa.
"Anin gak yakin bisa melewati hari dengan tawa karena alasan untukku tertawa sudah lenyap ditelan butala."
"bawa Anin pergi bersama kalian," menyeka air mata berjujai jatuh hingga pelupuk mulai buruk wujudnya.
panca jari tangan sudah terpenuhi segenggam kecaman merutuki ketetapan Tuhan pada garis kehidupan. ini sudah terhitung sata hari Anin menjalani hari sendiri.
"siapapun tolong aku untuk belajar tulus melepas kepergian," bukan dengan sorak tenang namun melantang.
"aku bisa," jawab taruna di belakang Anin.