❍pawana berisik

158 29 5
                                    

tibalah waktu dimana puan merelakan cinta menginjakkan kaki pada tanah yang berbeda, waktu untuknya menempah rindu lalu kembali meletakkan pada lemari pilu, waktu ketika kalau-kalau semesta mengajak diri berpikir tak semestinya akan hilang kabar tuan.

jadwal penerbangan Sabit semakin dekat. dengan begitu, akan erat juga rasa tak ingin melepas pujaan dari selubuk sang nona. tempat ini dijadikan sebagai alasan pertemuan pun perpisahan. sekitar mereka ramai pengunjung, cukup bagi puan berkelana bersama atensi.

ketukan kaki berlalu lalang mendesak pasokan udara. ada yang bertempo lambat hingga cekat. roda-roda saling menyeret permukaan dengan hasta pemilik enggan melepas pegangan. ada juga yang mengumpulkan energi setelah letih mengudara dan menanti siapa gerangan akan menyambut kepulangan.

membayangkan saja sukses membuat benang kusut dalam isi kepala nona. masalah semakin berat ketika suara dari bandara memberi laporan jika penerbangan menuju jepang akan segera meluncur.

"aku pamit."

namun, ditunda genggaman Anin. dia masih tidak ingin melepas atas hangatnya tangan tuan polaroid.

"pamit untuk sebentar bukan selamanya. ingat?!"

"iya sayang," seraya yakin melepas lembut tangan yang masih menyatu. surai nona tentu akan diusap begitu sahaja seperti biasa. kening nona menjadi nyaman sebagai tempat si gerbong suara mendaratkan kecupan hangat.

"semoga kita berhasil menjalani fase ini, Anin. ingatkan aku jika nanti lupa jalan pulang."

"Sabit..."

entah kapan pastinya, air mata sudah membasahi pipi Anin. malah semakin mulus menurunkan derai itu. tangan sang tuan kuat dipegang, tidak mengizinkan apapun yang nanti bisa mengisi ruang kosong jemari. lantas nona memeluk daksa yang tadi sengaja ditunda karena ingin bermental tegar tapi ternyata gagal. sepasang tangan memulai dekap dari leher terlebih dulu lalu perlahan berpindah pada surai bagian belakang kemudian mantap memberi sentuhan pilu pada wajah tuan.

"aku takut..."

dan persatuan hangat telah lepas karena dia memberhentikannya-nona. kembali melanjutkan kalimat. tatapnya merosot menuju keramik di bawah, tidak berani menilik  iris pekat kepunyaan Sabit. lalu tuan memberi sentuh pada dagunya agar percakapan ini betul adanya. tidak baik jika mengajak bicara tapi tidak melihat mata si teman cakap.

"kamu takut kenapa?" menyeka sendu yang membasahi pipi. memperlakukan nona dengan manja memang keahlian tuan. tak pernah sekalipun si pemilik hati boleh melontarkan kecewa. dia akan berusaha senyum itu abadi terukir indah dan pasti hanya untuk dirinya saja.

"gimana kalau nanti kamu dapat yang lebih baik dari aku?"

"gimana kalau nanti kamu sibuk trus jadi menjauh?"

"trus kalau nanti kamu sendiri yang ingin menyudahi, aku bisa apa Sabit?"

perkataan itu tidak lantang diucap namun ada jeda antara sendu dan keluh. tersedan-sedan membuat inti buah bibir tidak sampai tujuan. Sabit paham, manakala sang pujaan bertutur takut akan kehilangan. Sabit juga paham bahwasanya semua masih dibatas wajar. Tapi ini memang harus kembali pada garis takdir bukan? Mau sampai kapan berada pada lingkup cukup. Mereka juga perlu ada di zona lebih, hingga kelak ekspetasi akan sejalur dengan kenyataan.

Sederhana saja, dia ingin menempah masa depan yang baik untuk nona ontel. Bagaimana cara Sabit dan kekasih menapaki jejak skenario bisa terbilang rumit. Jangan pikir dia tidak punya ketakutan yang sama seperti Anin, bahkan dirinya ingin mundur. Ingat, Sabit hanya seorang manusia yang tidak tahu bagaimana semesta menjamunya dengan masalah. Akankah dia ada di pihak menyerah atau ingin merkah? Hanya pencipta pemilik jawaban.

"aku gak bisa beri janji, Anin. Seperti yang kamu ingat bahwa manusia tidak bisa memegang perkataan jika sudah Tuhan bertindak. Tapi aku hanya ingin kamu selalu menaruh kenyakinan juga percaya kalau aku pasti kembali dengan sepenggal hati yang sama seperti dahulu aku punya dalam kisah kita."

kemudian Sabit mantap menjauh dari dekap pilu si nona ontel. perlahan tapi pasti, jemari itu mulai melepas penyatuan dan mengundang nestapa semakin menggebu. daksa nona sudah merosot mencium daratan. entah bagaimana himpunan di sana melirik dirinya. bahkan derai itu malah bertambah buruk. dia memang tidak menjerit tapi hatinya seakan terhempas sesuatu yang berat dan sakit. bayangan Sabit kian kabur dari penglihatan. semua dia benar ingin pergi, masih ditatapnya Anin dengan pilu di belakang. mahirnya dia, malah melempar kurva manis bahkan lebih manis dari yang biasa nona ontel lihat. dan, bayang Sabit sudah hilang tepat ketika Anin menyambut baik senyum.



kuharap kita bukanlah sebuah pernah dan tidak akan musnah, Sabit.









































kalau kelak aku lupa bagaimana mencumbu cinta, tolong ingatkan aku.

Siram Buku Ini ; Hwang Hyunjin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang