ladang bunga langsung menyambut semerbak puspa yang menyerbu memasuki hidung.
tanpa basa-basi kulangkahkan tungkai, kupetik selembar lalu melanjutkan perjalanan. bayangkan saja aku sampai melompat karena begitu bahagianya, entah kapan terakhir kali aku kesini. mungkin tahun lalu bersama ayah dan bunda.
"mereka lihat aku gak sih?"
tanyaku pada nabastala membuat kepala terangkat ke atas. lama sekali kutatap si biru tanpa kedip netra.
"hai ayah bunda. Anin kangen banget, nanti malam kita berjumpa dalam mimpi. harus pokoknya."
lanjutku seperti orang gila berbicara sendiri. tentu sekelilingku merasa cemas dengan hadirku disini.
"saya masih waras kok," ujarku pada mereka yang masih saja melihat penuh tanya.
selanjutnya bangku menjadi destinasi kedua.
"halo bangku. kangen sama Anin gak? atau sama bokong Anin?"
"aku duduki kamu ya. kalau sakit bilang aja," mendarat begitu mulus tanpa gangguan.
seketika taman ini membuat sadar kalau apapun duka tak akan merubah buana. lihat saja, hanya aku yang berkrudung tirta didalamnya. dan semua insan hanya menyelipkan buntara kemudian lenyap membiarkan kesendirian. hanya ada kamu menjadi obat luka sesungguhnya.
"sudahlah, namanya juga manusia."
"bosan banget kalau sendiri. semua pada punya pasangan dan aku dengan ratapan."
aku bertopang dagu masih teguh merasa iri pada sekeliling. sungguh, kenapa aku begitu kukuh menilai sebuah ketidakadilan.
"sekarang apa? gak ada teman tetap saja sam-"
"halo nona, mau membeli balon?"
entah datang darimana bapak ini menawari. diambilnya satu balon biru lalu menyerahkannya padaku.
"maaf pak, saya bukan anak kecil," kataku menolak ketus tapi terlihat tulus.
"kata siapa kamu bukan anak kecil? bapak lihat kamu masih kecil belum beranjak dewasa," seakan banyak tahu tentangku.
aku diam menunggu kelanjutannya. kemudian dia duduk disebelahku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.
"nak, kamu masih terlalu dini untuk menghadapi kemunafikan. bapak berpesan kamu harus tetap kuat ya," lanjutnya meyakinkan.
"bapak bicara seakan kita sudah dekat sebelumnya."
"gak perlu dekat untuk tahu siapa kamu. mata cantik itu berbicara tentang segalanya."
"ini buat kamu. jangan sedih lagi," pesannya mengakhiri dengan memberi balon.
"makasih pak," kataku seraya melukis segaris lengkung dan menggenggam erat balon biru.
seiring dengan kepergian bapak penjual balon, aku pun ikut pamit meninggalkan ladang bunga. senja hendak muncul dan aku puas berkumpul.
kujemput si manis dan terlihat bude sibuk dengan pelanggan.
"bude, manis kemana?"
tanyaku setelah melihat tempat parkir itu tak ada sepeda kesayangan.
"loh, tadi disini. kemana ya?" bude pun ikut bingung menjawab.
aku yang masih saja menatap sekitar harap cemas tak mendapati.
"oh itu dia," ucap bude ketika seorang pria datang mengiring sepeda.
"hei sepedaku," protes menyambut kehadirannya tanpa diminta. dengan kasar kurampas.
"maaf nona. tadi aku meminjamnya sebentar karena ada urusan mendadak," sahut pria itu merasa bersalah.
"untuk apa?" aku yang mendadak penasaran menuang tanya.
"polaroidku ketinggalan jadi aku menjemput memakai sepedamu. maaf dan terimakasih."
taruna ini memamerkan senyum di ranumnya yang terlihat begitu manis. ku tatap dan menjawab, "baiklah tuan. permintaanmu terlaksana, dimaafkan."
"bude, Anin balik dulu. terimakasih untuk parkirannya," teriakku pada ibu berkepala empat.
"hati-hati."
"siap terlaksana," lalu aku beranjak pergi menggayuh sepeda dan meninggalkan tuan tanpa asma.
__________
➽ halo!
bagaimana lembar ini?
hm sedikit rancu atau
sangat rancu?
kurasa sangat...tadi aku janji kita akan bersua si tuan. saya perkenalkan pelakon kedua.
Sabitah Birendra
sekian dulu lembar keempat
sampai jumpa ^.^
terima jaemin