❍tagihan rasa

80 57 5
                                    

kota ini sedang merkah sekarang, sepenggal rembulan menggantung indah di sana dengan bintang teman malam.

"Anin, saya bawa polaroid. mau dijadikan objek?"

menatap netra cokelat puan begitu sungguh menelusuri setiap titik sudut gambaran pencipta yang sangat sempurna wujud. bohong jika dia berkata hawa ini tak elok karena sang pelukis sketsa sudah merancangkannya sedemikian rupa.

yang ditanya hanya menganggukkan kepala pelan tanpa melepas tatap.

sungguh ini terasa canggung baginya, bukan mudah membuka tutur basa-basi. isi kepala sedang berusaha mencari topik tapi tetap saja tuan lebih dulu membuka gerbang suara yang sejak tadi terkunci lintas roda.

"ayo keliling kota! supaya latarnya juga cantik."

ruang-ruang jari itu mulai terisi sisi jari lainnya, dengan lembut dia menyimpan telapak tangannya dalam kehangatan. tentu hal itu sudah mendapat izin dari sang empunya.

suara tuan sejak tadi terus ribut, ada saja bahan tutur yang bisa dia loloskan.

"Anin, kalau sekarang saya menagih utangmu tempo hari bagaimana? sudahkah mendapat jawaban?"

perihal janji yang diberi nona-jawaban atas pengakuan rasa tuan. tungkai kedua insan ini masih mendayu berlainan arah. Sabit menuang tanya kemudian menilik singkat puan disampingnya yang hanya mengeluarkan kata ketika diberi tanya dan setelah itu mengatup bahasa.

"diakhir perjumpaan akan kuberi jawaban tapi sekarang kita nikmati saja malam."

Sabit mendengar jawab melukis kurva bibir dan semakin mengunci ruang-ruang jari tak mengizinkan pasokan udara masuk. layaknya orang berpacaran, begitulah mereka sekarang. sedang manis-manisnya bermain asmaraloka walau belum dengan status yang jelas tapi itu akan segera.

di tepi jalan-trotoar. mereka sesekali mampir pada latar gedung ataupun tiang jalan, jembatan kota untuk melihat begitu molek temaram kelip penyatuan sinar pelita.
sejenak mengisi perut dengan kudapan pedagang tepi jalan.

"eh, sebentar. tali sepatuku lepas."

ucap Anin menghentikan langkah, hendak bertumpu pada telapak kaki namun tuan lebih dulu mencapai.

"loh," sontak bola mata membulat mendapati tuan tanpa enggan sujud di bawah seraya merapikan tali yang berlilitan.

"loh," sontak bola mata membulat mendapati tuan tanpa enggan sujud di bawah seraya merapikan tali yang berlilitan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"tak masalah, hanya mengikat tak membuatku terlihat cacat bukan?"

setelah selesai dengan urusannya, taruna lantas bangkit kembali mengisi ruang jari dan mendapat lengkung nona, "terimakasih."

Siram Buku Ini ; Hwang Hyunjin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang