Kita tumbuh, berkisah lalu membuat sejarah. Orang-orang hanya menunggu waktu berjalan, mereka bilang waktu akan merubah segalanya. Maka jika kamu pun berubah, barangkali memang sudah seharusnya.
Menginginkanmu kembali seumpama bulan yang mengidamkan matahari. Mustahil. Waktu berhasil menciptakan cerita baru, sedangkan aku? Aku berhasil membuat luka lama menjadi selalu baru, tak mau kering.
Kamu pernah bilang kalau pada senja tahun kedua, kamu akan menemuiku di dekat dermaga. Namun, hingga langit berubah gelap pun, ombak belum juga berbisik kau akan datang. Apakah kamu memang benar-benar hilang?
Purnama sedang benderang, apakah kau menjelma gemintang? Bolehkah aku mengadu? Berseru tentang kamu yang semakin membisu. Jika bintang paling bersinar itu kamu, tolong tatap mataku. Telah ku selipkan surat tanpa aksara melainkan rasa. Pesan yang tak pernah mau kau baca, padahal aku menulisnya sedemikian rupa.
Senja yang kau kirim sudah kuterima kemarin, kukira sempurna dengan jingga dan semburat merahnya serta siluet sepasang remaja yang saling menabur cinta. Ternyata hanya tersisa lembayung yang siap menggelar malam. Berwarna maroon berganti gelap kemudian hujan turun dengan lebat.
Lagi-lagi aku dibuat merana. Menunggu dengan luka atau pergi lalu mengobati. Entah pilihanku akan berlabuh dimana, yang pasti logika dan hatiku sedang berebut menjadi nahkoda. Kapal yang menentukan kemana aku akan berlayar selanjutnya. Tetap denganmu, rasa yang selalu berkembang tapi membuat sesak karna kehabisan ruang atau mencabut paksa dengan segala kesakitan yang belum tentu mau reda. Keduanya sama-sama menyiksa. Menikam sadis otak dan hatiku. Benar-benar menguras tenaga.
Tentangmu memang selalu istimewa, selalu menarik hatiku meskipun itu membuatnya tergores. Kepergianmu membekas lara tapi rasa tak pernah mau reda. Aneh kan? Kamu benar-benar berhasil membuatku terjerat, terpenjara rasa.
Apakah di sana nafasmu tetap lega meskipun separuh oksigenmu berhembus ke sudut yang berbeda?
Apakah hidupmu di sana baik-baik saja meskipun separuh jiwamu terpisah samudra?
Bagaimana jika nanti senja dan renjana kita mulai meredup?Bandung, 18 Juni 2019
Gadis itu menatap tulisan tangannya. Ada luka yang terselip pada tatapan sendunya, jelas sekali. Hatinya tersiksa, rindu itu selalu memaksakan temu tanpa peduli kapan dan dimana. Jujur saja ia benci situasi saat ini. Hatinya benar-benar berkecamuk. Pemuda itu sangat pandai mengaduk-aduk perasaannya.Belum lagi video lawas berbentuk kenangan sering kali menyelinap melalui aroma parfum dan tempat-tempat bersejarah antara mereka berdua. Sial! Ia terikat oleh banyak hal. Ada rasa yang tidak bisa ia tinggalkan meski berkali-kali berhasil membuat hatinya tertikam. Sungguh, ia mulai lelah dengan semuanya.
Sepertinya memang benar ucapan sahabatnya beberapa hari lalu, kita memang harus berdamai dengan takdir. Memang kadang tak seperti yang kita inginkan bahkan tak jarang membuat kita jatuh dalam jurang nestapa, tetapi itu pasti jauh lebih baik dari yang kita butuhkan. Bukankah kita akan dewasa dengan luka?
Ia menatap deretan polaroid yang tertempel dj dinding depan samping meja belajarnya. Beberapa foto menampakan sepasang remaja dengan berbagai model senyumnya. Bibirnya ikut terangkat. Jauh sebelum sekarang mereka benar-benar bahagia. Tidak ada satu hari pun yang mereka lewatkan tanpa kebersamaan. Waktu benar-benar merubah segalanya.
________
Haloo teman-teman, gimana? Sudah siap menyaksikan pertumbuhan Vanya dan Gemi, bund?
Mohon maaf bila ada kesamaan nama tokoh dan tempat peristiwa.
Ini bener-bener pure ide dari otak ku.Karena sudah lama vakum di dunia menulis, jadi mohon koreksinya apabila ada kesalahan.
See you next part ➡Jangan lupa follow my instagram @deaolf_
KAMU SEDANG MEMBACA
RENJANA
Teen FictionDi pacarin kok bangga? Dinikahin dong! __________________________________________ Start 30 Desember 2020