RENJANA-11

218 42 8
                                    

"Ngapain nangis segala?! Gue bilang keluar ya keluar!"

Bukannya pergi, Vanya malah berhambur memeluk lelaki itu. Ia menangis sesenggukan. Entah kenapa dadanya sesak mendengar Aiden mengatakan hal itu. Untuk pertama kali abangnya berbicara dengan nada dingin dan tinggi seperti itu. Vanya kaget, ia takut.

"Ngapain peluk gue?! Lepas!" Vanya semakin mengeratkan pelukannya, dia tidak mau kehilangan Aiden. Meskipun selalu menjadi cicak dan nyamuk, rasa sayang Vanya kepada Aiden begitu tulus. Gadis bersurai sebahu itu hanya terlalu malu untuk mengakuinya. Gengsinya terlalu tinggi dan ia tidak cukup mampu mengekspresikan perasaannya seperti orang-orang diluaran sana.

"Abang, jangan bentak Naya. Naya takut, hikss," Ujar gadis itu sembari sesenggukan.

"Lo yang buat gue gini, mending keluar deh. Dan perlu gue kasih tau sekali lagi, gue bukan abang lo!"

"Naya cuma bercanda bang, engga beneran, hiks."

"Lo pikir gue ketawa sama candaan lo itu? Mikir kalo mau bercanda makanya!" Aiden mencoba melepaskan rengkuhan gadis itu, Vanya mempertahankan posisinya namun hasilnya nihil. Tenaga Aiden lebih besar darinya, alhasil Vanya terpental jatuh diatas ranjang kamar itu.

"Maafin gue, gue nggak mau gini, hiks."

"Cupu banget lo nangis cuma karna gue, gue bukan siapa-siapa yang mesti lo tangisi, keluar sana! Gue mau beresin baju," Tutur Aiden sembari berjalan ke arah lemari.

"Enggak! Bunda!"

Zara datang dengan nafas yang terengah-engah. Wanita paruh baya itu kaget kalau melihat Vanya menangis sesenggukan di tepi ranjang Aiden. Sedangkan cowok itu sibuk menata beberapa bajunya untuk dimasukan ke dalam koper.

"Kamu kenapa, Nay? Aduh! Kok nangis gini si?" Tanya Zara yang kebingingan.

"Kamu juga Aiden, astaga! Adek kamu nangis dan kamu santai-santainya packing?" Lanjutnya sembari menatap Aiden tak percaya.

"Yaelah, Bun. Santuy aja kali, drama lagi seru juga!" Celetuk pemuda itu dengan santainya. Ia masih sibuk Mempacking baju.

"Santuy gundulmu!"

"Kamu diapain sama Aiden? Udah gede masih aja nangis! malu sama body," Ujar Zara sembari menghapus air mata anak gadisnya.

"Kata Bang Iden, Vanya bukan adeknya dia, hiks. Terus katanya Bang Iden mau pergi, huaaa bunda! Vanya ngga mau sendirian," Tutur Vanya yang kemudian meluruhkan airmatanya lagi.

Zara menatap Aiden dengan tajam seolah meminta kejelasan. Aiden menghentikan aktifitasnya sebentar, ia menatap wajah Vanya yang sudah seperti nenek kebayan. Cih! Batinnya berdecih.

"Adek kamu nggak kamu anggep, Den? Bunda nggak abis pikir si, padahal dulu pas bunda hamil kamu pengen banget Vanya cepet lahir," Celoteh wanita itu.

"Mana ada begitu!" Sangkal Aiden.

"Mau pergi kan? Gosah pulang sekalian! Pusing bunda sama kamu. Nilai turun, game terus, banyak tingkah lama-lama bunda cabut semua fasilitas kamu!"

Kaget? Jelas! "Bunda apaan bawa-bawa fasilitas."

Vanya mendengarkan percakapan mereka dengan beribu pertanyaan. Mengapa suasananya jadi susah ditebak. Ia malah semakin dibuat bingung oleh drama konyol ini.

Gadis berkaos biru itu menghapus air matanya dan mencoba mengatur nafasnya. "Ini kenapa si?! Kenapa jadi out of topik?" Tanyanya dengan kesal.

"Lo pikir aja sendiri!" Ketus Aiden.

"Bang ih, maafin Naya. Abang jangan pergi, nanti yang baku hantam sama Naya siapa? Rumah ini belum roboh, misi kita belum berhasil!" Aiden sontak membelakan matanya mendengar ucapan adik semata wayangnya itu. Sebuah bantal mini mendarat dengan mulus di wajah gadis itu.

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang