Gemi menatap nanar gadis di depannya. Terbaring di kasur serba putih, selang infus menancap kokoh ditangan kirinya, bukan hanya selang infus saja, selang oksigen juga terpasang rapi di hidung mancung gadis itu, kepalanya diperban dan wajah yang begitu pucat.
Terhitung sudah tiga hari gadis itu tertidur dan tak kunjung bangun membuat pemuda berhoodie hitam itu kalang kabut tak karuan. Penampilannya begitu acak-acakan. Ada beberapa luka memar di wajahnya sisa tawuran siang tadi.
"Van, bangun. Nanti kita beli seblak ceker yang kamu mau itu terus kita belanja permen yang banyak buat stok sebulan," Ujarnya dengan lirih berharap gadis di depannya segera membuka matanya. Namun berulang kali ia membujuk agar gadis di depannya terbangun tetap saja hasilnya nihil.
Ia menatap wajah damai gadis itu, menyingkirkan anak rambut yang mungkin membuat gadis itu terganggu. Beralih ke hidung mancung nya yang terpasang selang oksigen kemudian ke bibir tipis yang pucat pasi. Gemi tersenyum hambar.
Rasa sesak dan perih menghujam hatinya begitu hebat. Rasanya ini sulit untuk dipercaya. Seketika dunianya menjadi abu-abu melihat Vanya tak berdaya. Tawanya menjadi bisu damai dalam lelap. Biasanya tak absen senyuman vanya menyapa dihadapannya dan sekarang, semesta menghentikan sejenak dunianya. Gadisnya sedang tidak baik-baik saja dan itu membuatnya sakit.
"Ge, mending lo obatin dulu tuh luka di muka lo. Vanya biar kita yang jaga," Ujar gadis berambut panjang ikal terurai.
"Nggak!"
"Ngga lucu kalo tiba-tiba Vanya sadar liat kondisi muka lo kayak zombie gitu terus dia langsung pingsan lagi, Ge." Jawaban gadis itu membuat sang Gemi menatap nya tajam.
"Nja, lo gila kali ngomong gitu," Bisikan temannya kepada gadis rambut ikal.
"Anjir, mangap mulutku sulit terkonterol," Balas Senja dibarengi dengan cekikikan lirih.
"Gue ke suister dulu, kalian jaga dia. Lecet dikit, abis!" Mereka berdua bergidig ngeri dengan ucapan Gemi yang jelas itu bukanlah sebuah ancaman biasa.
Sepeninggalan Gemi, mereka berdua melangkah mendekati gadis tak berdaya itu. Mereka menatap Vanya sendu. Mereka berdua adalah Senja dan Sabila. Sahabat Vanya sedari MOS SMA.
"Van, lo kalo pengen mati ngga gitu caranya goblok! Mas-mas supermarket aja ketawa ngga percaya kalo lo masuk rumah sakit habis godain mereka," Ujar Sabila.
Memang benar apa yang dikatakan oleh gadis berbaju hijau itu. Pegawai supermarket tempat Vanya belanja sebelum kecelakaan sempat tertawa tak percaya bahwa gadis yang telah menggodanya itu masuk rumah sakit.
"Bangun si, Van. Nanti gue ajarin cara bunuh diri yang epic, ngga gini caranya, norak banget!"
Jitakan keras mendarat mulus dikepala Senja, membuat gadis itu meringis memegangi kepalanya. Hadiah dari Sabila atas ucapan gendengnya itu.
"Aww! Sakit ngab!"
"Ya siapa suruh otak lo geser!"
"Kita kan ngga tau dia punya masalah apa, kali aja dia mau bunuh diri secara mulus tapi gagal mati," Tukas Senja.
"Serah lo aja, Nja! Dedek ngalah."
Suara decitan pintu memecahkan keheningan dalam ruang serba putih itu. Dua gadis itu menoleh ke arah pintu. Retina mereka menangkap dua siluet manusia paruh baya. Senyum sopan terukir diwajah dua gadis berdarah Indonesia itu, ia menundukan kepalangan sebentar menyapa dua orang itu.
"Gemi dimana Nja? Sa?" Tanya wanita paruh baya itu.
"Gemi lagi ngobatin lukanya, tan. Habis tawuran kayaknya," Jawab Senja dengan polosnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RENJANA
Teen FictionDi pacarin kok bangga? Dinikahin dong! __________________________________________ Start 30 Desember 2020