RENJANA-06

354 70 8
                                    


Ini sudah kesekian kalinya Vanya menghembuskan nafas kasar, Gemi yang mendengar itu pun merasa jengah. Lelaki itu menatap gadis berpakaian serba biru khas rumah sakit itu. Wajahnya masih pucat tetapi selang di diungnya sudah tidak terpasang.

"Kenapa si, Van?" Tanya Gemi. Gadis itu menoleh, menatap Gemi sebentar. "Gue bosen, Ge. Bau ruangannya ngga enak banget, catnya putih semua bikin stress."

"Namanya juga rumah sakit, Vanya. Kalo mau yang enak, noh ke hotel bintang lima kamar VVIP," Balas lelaki itu.

"Ish, ayo keluar lah, Ge. Berasa manusia nolep gue disini."

"Baru juga 4 hari dirumah sakit udah sok-sokan nolep, diluaran sana yang enak-enak rebahan jadi beban keluarga aja ngga pernah ngaku nolep," Cerocos Gemi membuat Vanya berdecak sebal.

"Ayo dong, Ge! Lo kan baik hati, rajin ngomelin gue, ganteng da-"

"Bacot banget, Masih sakit juga mending tidur sono," Potongnya.

Vanya semakin sebal dibuatnya. Entah sejak kapan Gemi menjadi lebih semenyebalkan ini. Mulut gadis itu berkomat-kamit bak dukun yang sedang membaca mantra. Sudah dipastikan dalam hatinya sedang menyumpah nyerapahi lelaki berhoodie army didepannya.

"Pulang sana!" Gemi terkekeh mendengar Vanya mengusirnya. Ia mengacak rambut gadis itu dengan gemas meski tangan gadis itu sempat menepis perlakuannya.

"Lo ngajak keluar jalan-jalan emang bisa jalan?"

"Kursi roda kan ada, Gemi goblok!"

Sentilan mendarat mulus di dahi gadis itu membuatnya meringis. "Siapa yang ngajarin ngomong kasar gitu?"

"Cowo sok cool berinisial Gemintang Dirgantara."

"Itu bukan inisial, bego!"

"Astaghfirullah Gemi, kamu berdosa banget!" Kini Vanya mengucapkan perkataan itu dengan sedikit histeris.

"Drama banget si hidup lo," Tukas cowok itu.

"Udah, ah! Yuk jalan-jalan. Ambilin kursi rodanya dungs, my bu," Pinta gadis bersurai sebahu itu dengan suara lemah lembut membuat telinga Gemi geli. Cowok itu berdecak lalu mengambil kursi roda yang ada di pojok ruangan itu dengan malas. Vanya tersenyum puas melihat kekalahan sahabatnya.

Vanya turun dari ranjang kemudian menaiki kursi roda dengan bantuan Sang sahabat tercintanya. "Aye-aye kapten, berangkat cuy!"

Gemi memutar bola matanya malas melihat tingkah bocah dari Vanya. Ia mendorong kursi roda itu dengan sedikit malas. Mereka menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang mulai sepi. Beberapa orang nampak berlalu-lalang.

"Ge, lo denger suara ngga?" Pertanyaan Vanya membuat Gemi mengeryitkan dahi. "Denger apaan?"

"Tuh-tuh, denger ngga?" Gemi dibuat merinding, pasalnya mereka sedang berada di taman rumah sakit yang sepi. Mungkin hanya ada mereka berdua saja. Indra pendengaran Gemi tak menangkap suara apapun kecuali suara angin malam yang berhembus sedikit kasar. Matanya menyisir sekeliling sesekali menatap gadis yang duduk di kursi roda itu.

"Suara apaan anjir, ngga ada suara kecuali suara cempreng lo," Ujar Gemi sembari menahan sedikit rasa takutnya.

"Lo yakin ngga denger, Ge?" Vanya menatap Gemi lekat membuat cowok itu semakin naik level ketakutannya.

"Engga ada apa-apa, Van. Udah ah, ayo balik ke kamar nanti diomelin suster." Gemi bangkit dari duduknya lalu membawa Vanya kembali ke ruang rawat.

"Ge, lo serius ngga denger? Jangan-ja-"

"Jangan mengadi-ngadi!"

"Ge, lari, Ge! Cepet i-itu." Gemi sontak mendorong kursi roda itu dengan cepat karena panik. Otaknya sekarang diisi oleh bayanga-bayangan suster ngesot, kuntilanak dan beberapa hantu legend lainnya.

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang