RENJANA-13

206 32 0
                                    

Seusai makan malam itu, Gemi mengajak Vanya mampir ke taman dekat rumahnya. Tempat dimana dulu mereka menghabiskan waktu kecilnya. Bisa dibilang taman itu tempat yang sangat bersejarah bagi mereka.

Dulu sewaktu mereka masih kecil sering sekali menghabiskan waktu bermainnya di sana. Mereka tidak berdua, dulu ada berempat. Empat bocah itu adalah Gemi, Vanya, Aiden dan selaksa. Tetapi selaksa pindah ke Jakarta sejak dua tahun lalu karena ayahnya bertugas di sana.

Kedua remaja itu tiduran telentang diatas rerumputan. Mereka berdua menatap ramainya langit malam ini. Seolah, semesta sedang bereuforia. Mata Gemi tak alih menatap gemerlapnya bintang-bintang, sedangkan Vanya, gadis itu lebih memilih menatap wajah Gemi.

"Ngga cape liatin gue?" Tanya Gemi membuat Vanya tersentak, namun tatapannya tak beralih.

"Ngga akan," Balas Vanya. Gemi terkekeh kemudian menoleh ke arah gadis itu. Tatapan mereka bertemu cukup lama.

"Kenapa lo antusias banget nerima perjodohan itu? Apa karna ngga ada orang lain yang mau sama lo?"

"Dm gue penuh sama cogan-cogan Cendekia kalo lo lupa, belum lagi yang di tele dan tiktok," Balas Vanya dengan Tegas.

"Le, kita ini mau nikah, bukan pacaran yang kalo bosen bisa putus. Ini keputusan besar, lo ngga bisa ambil keputusan secara main-main kayak tadi," Tutur Gemi berharap Vanya mengerti apa yang sedang ia maksud.

Gadis itu diam. Ia kembali menatap wajah Gemi yang selalu membuatnya candu. "Susah ya jadi orang pecicilan, serius aja dikata main-main."

"Bukan gitu maksud gue, Le."

"Lo nggak mau jadi suami gue? Parah si, padahal kalo di sekolahan lo dengan PDnya ngomong ke temen-temen lo gue calon istri lo." Ucapan Vanya sukses membuat Gemi tak berkutik. Sial!

"Beneran lo nggak mau, Ge?" Tanya Vanya dengan wajah yang sangat menggemaskan.

"Mukanya, ngga usah meresahkan bisa nggak?!"

Bukannya berhenti, gadis itu malah semakin menjadi. "Nggak mau?"

"Shit! G-gue bukan nggak mau, Van. Kita masih SMA ngga lucu banget nikahnya buru-buru gini, kita ngga ada persiapan apapun. Gue tau lo punya mimpi dan gue nggak mau perjodohan ini jadi penghambat buat lo," Terang pemuda berjaket kulit itu.

"Gue menerima ini atas keinginan gue, bukan paksaan dari lo bukan juga paksaan dari mereka. Lagian mereka pasti jamin kehidupan kita, kan mereka yang punya ide konyol ini. Laper ya pulang rumah masing-masing. Kalo soal mimpi gue, kan mimpinya jadi istri lo, aman dong!" Vanya terkekeh geli.

Untuk kesekian kalinya vanya membuat Gemi tercengang. Ia tak percaya dengan jalan pikiran Vanya yang sekarang. "Siapa yang ngajarin lo liar begitu?"

"Aksa sama Senja," Tukas Vanya. Gemi membulatkan matanya tida percaya. Perihal Senja, Gemi sangat percaya karena gadis itu memang benar-benar minus. Tapi mendengar nama Aksa rasanya tidak percaya.

"Hubungan apa lo sama Aksa?" Tanya Gemi dingin.

"Ngga ada."

"Terus?"

"Nguras laut."

Gemi berdecak kesal. Seketika ucapan Aksa beberapa hari lalu terngiang di kepalanya menimbukan banyak pertanyaan bermunculan disana. Pemuda itu berdecak kesal dalam hati. Apakah Gemi cemburu dengan Aksa? Mungkin saja.

Gemi semakin larut dengan isi kepalanya. Ia memejamkan matanya sebentar, mencari ketenangan. Hingga akhirnya ia tersadar, suara Vanya sudah tak lagi ia dengar. Gemi menoleh menatap Vanya yang nampak sedang meringis menahan sakit.

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang