RENJANA-07

282 67 8
                                    

Setelah lima hari dirawat di rumah sakit akhirnya, gadis itu diperbolehkan untuk pulang. Ia berdiri di dekat jendela kamar rawatnya menatap gambaran Kota Bandung pagi ini sembari menunggu kedatangan keluarganya datang menjemput.

Namun, harapannya pupus begitu saja saat melihat seseorang yang membuka pintu ruangan itu bukan ayah, ibunya atau bahkan Aiden. Seseorang itu adalah Gemi. Seseorang itu tersenyum ke arahnya, ia tak membalas apapun kecuali menatapnya lekat. Entah kenapa ada rasa sesak yang menyerbu dadanya.

Tidak ada obrolan apapun dalam perjalanan pulang kali ini. Vanya tak berniat sedikitpun untuk membuka suaranya, begitu pun dengan lelaki di sampingnya yang memilih fokus dengan kemudinya. Keduanya sama-sama diam bakal dua orang yang sedang bermusuhan. Suasana itu bertahan sampai akhirnya mobil berwarna hitam itu memasuki pekarangan rumah milik keluarga Vanya.

Baru saja Gemi mematikan mesin mobilnya, Vanya sudah lebih dahulu turun kemudian masuk ke rumah itu. Hal itu tentu saja membuat Gemi merasa aneh, tak biasanya gadis itu bersikap seperti ini. Dengan segudang pertanyaan tentang sikap Vanya yang begitu aneh, lelaki itu memasuki rumah yang sama dengan Vanya. Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangannya dengan senyuman hangat khasnya.

"Vanya mana, Ge?" Tanya wanita itu.

"Udah masuk ke kamar, bund. Aneh dia masa diem aja dari tadi," Tutur lelaki itu, sedangkan wanita di depannya menghembuskan nafasnya berat. "Kamu susulin gih, palingan badmood."

Gemi mengangguki ucapan Zara lalu pamit menyusul Vanya di kamarnya. Kaki jenjangnya manaiki anak tangga satu persatu sampai habis kemudian membelokka langkahnya ke kiri, tepat di depan kamar Vanya.

Tanpa basa-basi apapun, cowok itu menerobos masuk begitu saja. Matanya disuguhi pemandangan seorang gadis yang sedang tertidur. Percaya tidak percaya itu adalah Vanya, gadis yang baru saja ia antar pulang.

"Kebo banget si! Perasaan baru lima menit yang lalu gue anter pulang, udah tidur aja," Ujar lelaki itu sembari menatap gadis itu. Ia melangkah mendekati ranjang berwarna hijau tempat gadis itu merebahkan dirinya. Gemi tersenyum melihat wajah damai Vanya. Masih pucat, tetapi tetap cantik baginya. Tangannya mengelus kepala gadis itu dengan pelan dan penuh kasih sayang.

"Jangan sakit lagi, lo nggak tau betapa takutnya gue kehilangan lo. Gue lebih suka lo yang pecicilan daripada diem gini, aneh tau nggak? Dunia gue rasanya sepi tanpa ulah lo," Ucap Gemi sembari terkekeh, berharap gadis itu mendengar ucapannya.

"Cepet sembuh Nayaku." Usai mengucapkan itu, Gemi mencium kening Vanya yang selalu menjadi candunya ketika mengetahui gadis itu tertidur. Senyumnya terbit dengan manis pada pahatan wajah sempurnanya.

⭐⭐⭐

Di tengah derasnya hujan, Gemi membelah jalanan kota Bandung dengan motor sport hitamnya. Akan tetapi mantel polkadot hitam yang ia kenakan membuat kesan cool cowok itu berkurang. Persetan dengan itu semua! Tujuannya saat ini bukanlah tebar pesona.

Mata elangnya menatap jalanan yang cukup sepi. Bersama lampu-lampu yang menatap pantulan dirinya sendiri di jalanan licin, Gemi menempuh jalanan berkilo-kilo meter, lebih tepatnya 15km lelaki itu akan mengukur jalanan dengan motor kesayangannya di tengah derasnya sang hujan.

Hanya membutuhkan waktu duapuluh menit untuk sampai di tempat tujuan. Di depan gedung tua yang lusuh, Gemi memarkirkan motornya. Suara derasnya hujan menambah kesan angker di sana, tetapi lelaki itu mengabaikan ketakutannya. Ia melepas helm hitamnya kemudian melangkah memasuki gedung itu tanpa melepas mantelnya.

Satu persatu kakinya melangkah menyusuri gedung itu. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah ruangan bertembok rapuh dengan beberapa orang terkapar di sana. Gemi menyalakan senter ponselnya. Damn! Mata Gemi membulat melihat tiga orang terkapar di lantai tua itu juga lima orang nampak terduduk lemas, tubuhnya penuh luka memar. Nampak di lantai juga ada bercak darah.

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang