6. Kepikiran

514 137 25
                                    

Jingga memutuskan untuk menyusul Langit ke ruangan lelaki itu. Selain mengembalikan ponsel yang ketinggalan, Jingga juga ingin melihat keadaan Langit sebentar. Apakah lelaki itu masih sangat marah?

Biar bagaimana pun, Jingga bisa bersimpati dengan apa yang Langit alami. Masih disepelekan meski kita sudah bekerja keras adalah hal yang paling menyebalkan di dunia. Belum lagi, Jingga sudah mengatakan sesuatu yang terlalu kasar bahkan setelah Langit berusaha menenangkannya. Meski mengakui bahwa Langit adalah salah satu lelaki baik yang pernah dia temui, tapi Jingga masih sangat ragu untuk menerima ajakan menikahnya.

Maksud Jingga, apa Langit tidak memiliki pilihan lain selain dirinya? Seorang Jingga yang punya banyak beban, miskin, dekil, dan bodoh ini? Jingga rasa orang akan menerima dirinya sepenuh hati hanya tokoh fiksi.

Bunyi 'ting!' elevator membuat Jingga menghela napas. Jika Langit ada di dalam ruangannya, mustahil untuk mengecek kondisi lelaki itu. Mungkin, lebih tepat kalau menitipkan ponsel Langit ke sekertarisnya saja.

Keluar dari elevator, hati Jingga mencelos kemudian senyum miring terukir di bibirnya. Tentu saja, batin Jingga pahit. Tentu saja seseorang seperti Langit hanya bermain-main dengannya, kan?

Tidak ada satu pun sekertaris Langit yang terlihat di depan ruangan sang direktur. Justru, Jingga melihat langsung Langit yang tengah dirangkul wanita cantik di depan pintu masuk ruangan. Tidak mungkin itu saudara atau adik Langit, karena menurut berita yang Jingga dengar selama bekerja di perusahaan, Langit adalah satu-satunya keturunan. Belum lagi, senyum yang terukir di bibir wanita itu. Tampak seperti jalang.

Ah, biarkan saja. Apa hubungannya denganku? Pikir Jingga. Perempuan itu mendekat dengan wajah menunduk. Interaksi intim yang terjadi bukanlah hal yang menarik perhatiannya.

"Maaf, Pak. Hp bapak ketinggalan di ruang rapat." Setelah meletakkan ponsel di meja Angel, Jingga langsung melesat kembali ke elevator tanpa melihat reaksi Langit dan perempuan itu. Tidak terdengar juga suara Langit yang memanggil namanya seperti di film-film, jadi mungkin Jingga adalah seorang pengganggu di saat itu.

Di dalam elevator, Jingga mendengus, agak bergidik mengingat perlakuan manis Langit padanya selama ini. Memang dasar monster! Apa salah Jingga pada lelaki itu sampai layak di perlakukan seperti ini? Memangnya sebuah lamaran bisa di jadikan bahan candaan? Ck! Kenapa pula di memilih mengembalikan ponsel Langit terlebih dulu? Dan meninggalkan Krisna beres-beres sendirian?

Oh, sudahlah! Bukannya dengan begini dia jadi tau kelakuan Langit yang sebenarnya?

Sampai kembali ke ruang meeting, pekerjaan hanya tinggal sedikit. Krisna memaafkan kelakuan Jingga yang kabur dari pekerjaan dan malah mengejar Langit.

"Mas, kamu sibuk nggak abis ini?" Jingga bertanya sebelum pekerjaan mereka benar-benar selesai.

"Enggak, sih. Kenapa emang?" sahut Krisna.

"Aku boleh ngobrol sebentar, nggak?" Kali ini Krisna tidak hanya menjawab, tapi juga menatap Jingga.

"Ngobrolin apa, emang?" tanya Krisna, tampak agak waspada.

"Kamu kan anak psikolog, anggap aja aku mau konsultasi," jawab Jingga. "Tapi kalau kamu nggak bisa, ya nggak apa-apa sih!"

Krisna tampak berpikir sebentar.
"Ada hubungannya sama kamu yang nggak bisa fokus kerja?" tanya lelaki itu langsung, hingga membuat Jingga salah tingkah.

"Kind off," jawab Jingga sambil nyengir. Kali ini Krisna langsung mengangguk.

"Yaudah. Nanti kalau jam kerja udah habis, kita ngobrol aja di kantin. Pasti udah sepi disana," kata Krisna.

"Ok. Makasih, ya?"

###

Sadam di tangkap polisi.

Tubuh Jingga gemetar, emosinya meluap-luap setelah mendengar berita itu dari Joshua. Kejadiannya di sekolah, diduga atas kasus kekerasan. Jadi, orang-orang yang beberapa hari lalu di pukuli Sadam memilih jalan hukum.

Pak Damar, penanggung jawab tim kebersihan menawarkan diri untuk membantu Jingga saat melihat perempuan itu menangis ketakutan. Susan dan Riri berusaha menenangkannya di sisi lain.

Bagaimana Jingga tidak kalut saat itu? Dia sama sekali tidak punya pengalaman menangani polisi. Bagaimana caranya menyelamatkan Sadam? Dimana dia bisa mencari pengacara yang bisa membantu?

"Jingga, tenang dulu. Kita pikirin jalan keluarnya bareng-bareng, oke?" ucap Dio yang juga ada di sana.

"Disini nggak ada yang punya kenalan pengacara?" Pak Damar bertanya pada para bawahanya. Mereka menggeleng lesu. Memangnya mereka siapa hingga butuh pengacara?

"Jingga, coba bapak tanyain temen-temen bapak dulu, siapa tau ada yang bisa bantu. Kamu ke kantor polisi saja dulu. Dio, Susan atau Riri, bisa bantu kan?" ucap Pak Damar.

"Saya saja, Pak." Krisna yang baru saja tiba di perusahaan menyahut tenang. "Om saya kerja di kepolisian sini. Mungkin bisa bantu," lanjut Krisna.

"Yaudah, tolong ya Kris. Ayo Jingga. Adik kamu pasti juga udah nunggu. Hati-hati jalannya ya, Kris?" Pak Damar membantu Jingga berdiri dan mengantarnya ke parkiran motor. "Bapak akan bantu urus perijinan disini, jadi kamu fokus aja ngurus adikmu, ya? Kris, tolong bantu Jingga, ya?"

Krisna mengangguk sekali sebelum mengendarakan motornya dengan kecepatan normal. Jingga tidak bersuara sama sekali. Pikirannya sibuk mencari jalan keluar, sementara syaraf matanya menahan supaya tidak menangis ditengah jalan.

Mungkin, akan lebih baik kalau Jingga meminta bantuan Langit. Lelaki itu pasti memiliki pengacara yang bisa 24 jam disisinya, kan? Seorang pengacara hebat yang bisa mengeluarkan Sadam dari penjara dalam satu kedipan mata? Haruskah Jingga meminta bantuannya?

Kalau nanti tidak ada jalan keluar lain, Jingga akan berlutut memohon kepada Langit jika perlu. Saat ini, dia ingin mencoba menghadapinya sendiri. Bukankah selalu seperti itu? Jika, dia bisa, maka tidak perlu meminta tolong pada orang lain.

Atau haruskah Jingga meminta bantuan sekarang? Bukankah akan lebih baik kalau Sadam keluar lebih cepat dari sana? Baru kali ini Jingga merasa stres karena dihadapkan pada dua pilihan. Bagaimana tidak kalau selama ini dia tidak punya seseorang yang bisa diandalkan? Atau sebuah pilihan lain?

Jarak dari perusahaan dan kantor polisi cukup jauh. Selain membantu Jingga menenangkan diri, hal tersebut juga menghilangkan satu pilihan baginya. Sekarang, yang dia punya adalah menghadapi sendiri kasus Sadam di kepolisian.

"Kamu tunggu disini bentar, ya? Aku coba cari om ku buat bantu," kata Krisna yang diangguki oleh Jingga.

Begitu Krisna masuk lebih dulu ke kantor polisi, hal yang tidak Jingga duga terjadi. Langit keluar dari kantor polisi bersama seseorang berjas abu-abu, seorang polisi, dan seorang ... SADAM?

Jingga mencoba mendekat untuk memastikan. Namun, remaja berseragam sekolah dengan wajah babak belur itu memang benar adiknya.

Jingga berlari, memeluk Sadam erat dan menangis histeris penuh kelegaan. Biarlah nanti dia bersujud pada Langit untuk berterimakasih. Keberadaan Sadam dalam pelukannya jauh lebih penting saat ini.

###

Siapa yang penasaran sama visual Krisna? ☝

Atau ada yang mau nebak? 😀

Charming BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang