17. Lebih Baik Kalau ...

471 116 25
                                    

Selain fakta bahwa banyak orang sekarang ingin tau mengenai masalah antara dirinya dengan Dio, atau hubungannya dengan Langit, Jingga merasa lebih baik. Ternyata, dengan tidak melihat wajah Dio selama dua minggu terakhir cukup membuatnya tenang.

Mungkin benar kalau waktu bisa melakukan banyak hal seperti, membuka kebenaran, membalikkan hati seseorang atau mengobati luka. Jingga masih membenci Dio, namun sekarang dia cukup puas dengan keputusan yang Langit ambil.

Tentu, Jingga tidak menjawab satu pun pertanyaan yang dilontarkan padanya. Selain merasa risih, dia malu dengan apa yang sudah terjadi. Beruntung, Krisna, Riri dan Sarah mau mengerti. Mereka tidak memaksa Jingga untuk bercerita perihal Dio, namun kedua teman perempuannya masih suka memicingkan mata saat mereka secara tidak sengaja berpapasan dengan Langit.

Tidak banyak yang berubah dari lelaki itu, kecuali makin jarangnya dia terlihat di kantor. Jingga tau Langit adalah orang yang super sibuk hingga seharusnya yang dia herankan adalah, bagaimana lelaki itu bisa selalu ada ketika keluarganya dalam masalah, bukan malah keabsenan sang pimpinan tersebut.

"Yah! Bentar lagi drama-drama korea yang bagus bakalan tamat!" Sarah mengeluh disamping Jingga yang sedang membaca komik.

"Emang nggak ada ganti?" Balas Jingga tenang. Satu tangannya sedang memegang bengbeng, sementara yang lain memegang komik.

"Ada, tapi nggak yakin bakal seseru drama Mr. Queen," gumam Sarah lesu.

"Coba dulu aja liat," jawab Jingga dengan nada setengah hati.

"Kamu lagi baca apa, sih?" Dengan ingin tau, Sarah menjulurkan lehernya untuk mengintip judul komik Jingga.

"Fairytale," sahut Jingga pendek.

"Ohh... Itu kan komik lama," komentar Sarah yang dibalas gumaman sambil lalu oleh Jingga. "Kalau komiknya korea namanya manhwa, kamu mau baca nggak?"

"Bagus nggak?"

"Bagus. Lagi banyak yang nyari. Di webtoon tuh," jawab Sarah.

"Ok. Thanks." Sarah mendengus mendengar jawaban pendek Jingga.

"Oh ya Jingga, kamu beneran nggak ada apa-apa sama Pak Langit?" Sarah melempar pertanyaan lagi.

"Bosen aku ditanyain itu mulu," balas Jingga.

"Ck! Serius ih! Soalnya ayahnya Pak Langit barusan dateng. Mukanya galak banget deh! Kira-kira kenapa ya?" Cerocos Sarah dengan mata melirik Jingga.

"Mana saya tau? Saya kan ikan." Setelah menyahut asal, Jingga bangkit dari kursinya.

"Eh? Mau kemana?" Sarah bertanya.

"Pindah tempat. Kamu berisik."

"Eh? Kurangajar!"

Jingga terkekeh sedikit saat menutup pintu ruang petugas kebersihan. Setelah membuang kemasan bengbeng, Jingga naik tangga menuju lantai 4. Aula besar selalu sepi jika tidak ada acara besar-besaran yang diselenggarakan oleh perusahaan. Disana pemandangannya juga cukup bagus meski belum bisa dibandingkan dengan rooftop.

Sambil menikmati semilir angin, Jingga duduk nyaman di lantai balkon yang sempit. Jam kerjanya tinggal lima belas menit lagi dan tidak ada yang perlu dia kerjakan. Maka dari itu dia memilih menghabiskan waktu dengan membaca komik pinjaman dari teman Jojo.

"Pa, kita bisa ngobrol di ruangan--"

"Nggak perlu!"

Plak!

Mendengar suara Langit dan papanya yang mendadak saja sudah membuat Jingga terkejut, apalagi mendengar suara tamparang yang begitu keras?

"Memalukan!" Bentak Papa Langit. "Kenapa kamu ninggalin anak teman bisnis papa begitu aja? Nggak ada otak kamu? Nggak punya sopan santun? Atau emang mau bikin malu papa?"

Charming BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang