9. Dua Orang yang Dipermasalahkan

533 132 42
                                    

Jingga menatapi cincin di dalam kotak pemberian Langit. Lelaki kembali memberikannya pada Jingga sebelum mereka pulang dari acara akhir tahun. Jingga sudah berupaya menolak, tapi toh Langit bersikeras.

"Kamu boleh mengembalikannya setelah menemukan orang yang kamu cintai. Sebelum itu, tolong simpan dan pikirkan tawaranku." Ekspresi masamnya membuat Jingga terganggu sampai saat ini. Jelas-jelas ada hal yang susah diucapkan oleh Langit, tapi kenapa lelaki itu tampak mantap sekali ingin menikahinya?

"Kak? Kakak ngapain, sih? Nggak kerja?" Sadam yang baru saja masuk ke kamar Jingga untuk mengambil charger bertanya setelah melihat Jingga termenung di atas meja belajar. Beruntung dia tidak melihat cincin pemberian Langit yang langsung Jingga sembunyikan.

"Kerja, kok. Nanti jangan lupa jemput Jojo dari rumah temennya, ya?" Jingga bergegas merapikan tas dan keluar rumah hingga membuat Sadam jadi sedikit curiga.

Jingga sampai di perusahaan bersamaan dengan Langit. Lelaki itu membukakan pintu untuknya, kemudian melangkah lebih dulu seolah tidak ada yang patut di permasalahkan.

Jingga yang kaget memang sempat terdiam beberapa saat, sampai dia melihat seorang perempuan tinggi semampai menyongsong kedatangan Langit dengan gembira. Kalau ingatan Jingga benar, perempuan itu adalah orang yang sama dengan yang memeluk leher Langit tempo lalu.

"Tolong jaga sikapmu!" Jingga sempat mendengar Langit menegur perempuan itu sebelum dia meneruskan langkah. Sebuah senyum tercetak di bibir Jingga kala melihat Krisna berjalan tidak jauh darinya. Gadis itu berlari menghampiri temannya.

"Mas Krisna!" panggil Jingga. Krisna menghentikan langkah, menoleh dan tersenyum pada Jingga.

"Baru dateng juga?" ucap Krisna berbasa-basi.

"Yep! Tahun baruan dimana kemarin?" tanya Jingga ingin tau.

"Dirumah aja. Lebih enak tidur kayaknya," sahut Krisna. Lelaki itu tidak mengatakan apa-apa lagi, pun dengan Jingga. Begini saja sudah nyaman. Tidak perlu berpura-pura antusias, tertarik atau apapun pada satu sama lain.

"Nanti boleh ngobrol sebentar? Aku lagi kepikiran sesuatu, mungkin butuh saran juga dari kamu?" tanya Jingga.

"Soal?"

"Something." Jingga nyengir, masih ragu untuk menjelaskannya dengan gamblang.

"Dio?" tebak Krisna.

"Bukan! Ya, itu juga sih. Berhubungan, tapi nggak juga. Nanti, ya? Bye!" Jingga sudah ancang-ancang untuk duluan, tapi Krisna menahannya.

"Dio masih ganggu kamu?" Jingga diam. Memang, salah satu seniornya itu sering mengirimkan chat yang isinya susah untuk Jingga pahami. Mungkin bermaksud PDKT, tapi kata-katanya selalu menjerumus ke hal-hal yang tidak menyenangkan.

"Aku duluan, ya? Piket soalnya." Begitulah Jingga menghindar, tapi Krisna pasti menangkap ekspresi tidak nyaman di wajahnya.

"Jingga! Bareng!" Krisna segera menyusul. "Dio satu shift sama kita soalnya."

Mengetahui hal itu, Jingga langsung tegang. Dia juga mulai gelisah dan tidak tenang.

"Dia nggak mungkin ngelakuin hal yang macam-macam ke kamu. Aku disini, kok!" Krisna menepuk-nepuk bahu Jingga untuk menenangkan temannya tersebut.

Satu hal yang belum pernah Jingga ceritakan pada orang lain kecuali Krisna. Dio, salah satu senior yang juga merupakan orang pertama yang menyapanya, orang itu mulai mengganggu Jingga dengan perhatian dan pesan elektronik sejak awal kedatangan Jingga di perusahaan.

Dulu, Jingga kira Dio hanya ingin membantunya mengenal lingkungan kerja, namun lama kelamaan tema obrolan mereka beralih. Jingga sama sekali tidak keberatan menjadi teman jika itulah yang Dio harapkan. Tapi, bukankah ada batasan juga jika kita melakukan obrolan dengan teman beda gender? Apalagi mereka tergolong masih teman baru? Bahkan belum ada satu bulan!

###

"Kamu juga nggak nyaman sama cowok itu? Tapi dia nggak ngomong tentang yang menjurus ke seks kayak Dio, kan?"

Sekarang Jingga sedang ada di kantin bersama Krisna. Mereka melanjutkan sesi konseling yang beberapa waktu lalu Jingga lakukan. Perempuan itu lantas menggeleng untuk menjawab pertanyaan Jingga.

"Ya, tapi motif dia sama kayak Mas Dio, kan? Ngedeketin dan ngomong soal pernikahan padahal baru aja kenal. Maksudnya apa, coba? Belum lagi dia bahkan nggak ngomong apa-apa soal cewek yang ngerangkul dia. Kalau ternyata aku dimainin, gimana?" Jingga menggerutu cemburut dengan dagu menempel di meja.

"Iya juga, sih. Tapi, kalau dia bantu kamu dan bahkan ngedeketin keluargamu sampai sejauh itu cuma buat mainin kamu, buat apa? Berurusan sama polisi tanpa uang kan nggak akan semudah kemarin. Apalagi kalian tahun baruan bareng." gumam Krisna menanggapi.

"Makanya aku binggung, mas! Ngeri kalau ternyasa sama busuknya kayak Mas Dio! Atau cowok lain yang pernah aku kenal!" sahut Jingga frustasi. "Lagian, kenapa mendadak banyak yang mau nikahin aku padahal aku sendiri nggak mau nikah, sih? Coba waktu dulu, pas aku masih mikir kalau nikah itu enak!"

"Nikah emang enak, Jingga. Kalau kamu nemu orang yang pas!" balas Krisna tenang.

"Selain kamu, nggak ada cowok yang bener-bener aku percaya," aku Jingga.

"Kenapa?" tanya Krisna cepat. "Aku juga penasaran kenapa kamu cerita semua masalahmu ke aku dan percaya sama aku?"

"Nggak tau? Ya aku yakin aja kamu orang yang bisa dipercaya," balas Jingga. Krisna geleng-geleng kepala mendengar itu.

"Kamu sembrono. Aku ini masih manusia yang bisa salah dan keceplosan, loh." Krisna mencoba mengingatkan Jingga.

"Kamu nggak akan secara sengaja ngumumin ke semua orang, kan? Lagipula, sampai sekarang belum ada yang aku rasa bener-bener tulus bantuin tanpa alasan dibelakangnya."

Krisna menghela napas panjang lalu mengangkat satu tangannya untuk memegang kepala Jingga. "Cuma orang yang punya hati yang nggak akan bantuin kamu setelah tau semua masalah kamu. Jujur aja, aku ikut bangga dan seneng karena kamu masih mau bertahan sampai sekarang. Kamu cewek hebat, Jingga!"

Jingga membuang muka ke arah lain supaya Krisna tidak melihat matanya yang sudah berkaca-kaca. Kadang, bagi Jingga, sebuah pengakuan atas perjuangannya sudah lebih dari cukup.

Gadis itu tersentak kaget saat matanya secara tidak sengaja menangkap sosok Langit dari jendela di lantai tiga. Seluruh kantin bisa dilihat dari atas sana, yang Jingga kenali sebagai lobi devisi perencanaan. Kemudian Jingga teringat ucapan Langit, bahwa lelaki itu melihat dirinya sedang bersama Krisna di kantin berduaan. Apakah seperti hari ini? Jingga ingat, dia sampai menangis di pelukan Krisna saat pertama kali bercerita pada lelaki itu. Apa Langit juga melihatnya?

Sosok lain muncul dibelakang Langit. Dari bayangan yang tertangkap mata Jingga, tampaknya perempuan yang tadi siang menyambut kedatangan Langit di kantor masih disamping lelaki itu. Oh, ya! Apa urusan dia?

###
Anyone yang apresiasi ceritaku,

I Love You 💞

Charming BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang