44. Ayah

354 63 12
                                    

Malam tahun baru kali ini, suasana menjadi semakin ramai dengan adanya Jihan dan Lia. Jingga merasa senang, karena sekarang dia bukan satu-satunya perempuan di sana.

Baik Lia maupun Jihan sama-sama anak yang supel meski Lia sedikit pemalu. Tidak butuh waktu lama bagi Jingga untuk akrab dengan teman-teman adiknya.

"Ini keponakan kamu? Lucunyaa... " Jingga berkomentar saat Jihan menunjukkan foto keponakannya yang baru berumur beberapa bulan.

"Iya, kak! Pipinya gembil banget! Gemesin?" Sahut Jihan bersemangat.

"Ih, pengin cubit pipinya!" Tambah Lia gemas.

Ketiga perempuan itu sedang duduk bersama, menunggu makanan yang di panggang oleh para lelaki. Jika biasanya Jingga yang repot ke sana-sini, sekarang perempuan itu bisa duduk dan mengobrol dengan sesama perempuan. Sedang seru-serunya mengagumi foto bayi, tiba-tiba layar ponsel Jihan berubah.

Ada panggilan masuk dari id contack bertuliskan 'Ayah'.

"Ya, Yah?" Jihan menyahut begitu saja. "Iya, udah sampai, kok. Ini lagi bakar-bakar."

Lia menepuk jidatnya, seolah ingat sesuatu saat Jihan mengobrol dengan orangtuanya.
"Bentar ya, Kak. Mau telpon Papa dulu, takut dicariin," pamitnya sebelum masuk ke dalam rumah.

Jingga mengangguk, sedikit banyak mendengar obrolan penuh perhatian antara orangtua dan anak itu. Perasaan resah diam-diam menyusup ke hatinya, hingga Jingga merasa tidak tahan dan bergabung dengan para lelaki.

"Kakak ngapain ke sini?" Sadam bertanya saat menyadari kedatangan Jingga di sekitar pemanggang dan makanan.

"Mau bantu," jawab Jingga pendek.

"Itu Jihan sama Kak Lia lagi telponan sama siapa?" Jojo menyipitkan mata, ingin tau.

"Pap--orangtuanya," Jingga menggigit bibir kemudian membuang muka. "Mau dibantu apa?"

"Udah beres semua, kok. Tinggal nunggu makanannya mateng dan tengah malemnya," jawab Langit. "Kamu duduk aja"

Jingga tidak punya pilihan. Perempuan itu duduk dikursi terdekat sambil memperhatikan ketiga lelaki yang sibuk didepannya. Lagi-lagi dia menyadari kalau hidupnya telah berubah.

Dulu, sepertinya pesta perayaan tahun baru terlihat tidak berguna, buang-buang uang dan tenaga. Lalu, kenapa sekarang terasa sangat patut untuk dinantikan?

Ah, dulu, daripada membeli kembang api dan terompet, lebih baik uangnya dipakai buat makan. Jingga ingat, dia mencaci orang-orang yang menikmati tahun baru dengan meriah. Memang apa istimewanya tahun baru sampai harus di rayakan? Pergantian tahun tidak serta merta membuat hidup jadi lebih mudah.

Tapi sekarang, seiring berjalannya waktu dan banyaknya kegiatan, Jingga mengerti mengapa banyak orang menantikan hal ini. Waktu untuk berkumpul dan menikmati momen bersama orang-orang yang dia sayangi. Dan waktu yang sudah berjalan, terlihat jelas saat ini.

Melihat bagaimana Sadam dan Jojo tumbuh besar, membuat Jingga menyadari betapa banyak hal yang sudah berlalu. Sudah berapa tahun mereka ditinggalkan oleh ayah mereka.

"Ayah, ya?" Gumam Jingga pelan. Ada rasa ngilu yang luar biasa di hatinya ketika mengingat sosok itu. Semua pertanyaan yang dulu ada kini muncul kembali. Kenapa? Kenapa? Dan lebih banyak kenapa?

Kenapa mereka ditinggalkan? Kenapa mereka harus melewati semua itu? Kenapa dia harus menanggung semua beban itu? Kemana perginya orang yang semestinya bertanggung jawab atas hidup mereka?

Rasa frustasi itu muncul lagi, rasanya menyakitkan hingga tubuhnya pun ikut bereaksi. Ah, dia harus melupakan ini. Tidak akan ada yang berubah meski dia mengungkit lagi.

Kemudian, terdengar suara isak tangis.

###

Baik Langit, Sadam maupun Jojo menoleh ke arah Jingga kaget. Langit segera mendekat sementara kedua adik Jingga saling tatap bingung.

"Jingga, kenapa?" Tanya Langit. Perempuan itu, entah sejak kapan sudah menutupi wajahnya dengan tangan, rambutnya berantakan dan menangis pelan. "Hei, kamu kenapa?" Langit bertanya ulang.

"Masa nggak dibolehin bantu aja nangis, sih?" Gumam Sadam, heran. "Nih, bakar jagungnya kalau kakak mau"

Langit memberikan tatapan menegur pada Sadam hingga pemuda itu diam.

"Kak Jingga kenapa? Ini, minum dulu" Jojo datang dengan mimik bersimpati sambil membawakan air minum. Tidak lama, Lia dan Jihan mendekat, menanyakan alasan Jingga menangis.

Jingga tidak merespon, bahkan setelah Langit membujuknya supaya minum terlebih dulu. Semua orang bingung, tidak tau apa yang sudah terjadi pada Jingga dan alasannya menangis, padahal beberapa menit sebelumnya masih baik-baik saja.

"Mau ke kamar dulu buat nenangin diri?" Saran Langit, tapi Jingga menggelengkan kepala. Perempuan itu ingin bicara, kalau dia baik-baik saja, tapi lidahnya seolah lumpuh.

"Sayang, nggak ada yang ngerti kalau kamu nggak cerita. Kami semua khawatir kamu nangis tiba-tiba kayak gini. Kamu kenapa?" Ucap Langit, merapikan rambut Jingga yang berantakan.

"A-aku nggak apa-apa," Jingga akhirnya menyahut meski setelahnya dia menangis lebih keras. Tentu saja tidak ada yang percaya dengan ucapannya.

"Kakak diganggu lagi sama orang aneh, kah? Kasih tau kita siapa orangnya, kita pasti belain kakak!" Kata Jojo, mulai terdengar garang.

"Betul! Nggak usah takut sama makhluk jadi-jadian!" Sambung Sadam.

Jingga menggeleng lagi, berusaha menyangkal pemikiran adiknya. Anehnya, Jingga langsung tampak lebih tenang.

"Bu-bukan i-itu, tau?" Katanya sesunggukan.

"Te-terus a-apa?" Sadam mengaduh setelah tiga pukulan berbeda mengenai tubuhnya. Jihan, Jojo dan Lia sama-sama melotot garang ke arah lelaki itu karena menirukan Jingga.

Jingga kembali diam, air matanya kembali mengalir meski bibirnya ditutup rapat. Langit mengerutkan dahi sambil memperhatikan isterinya. Jingga yang menyadari hal itu, memilih memeluk leher Langit dan bersembunyi disana.

"Tiba-tiba inget ayah," bisiknya terlalu pelan, hingga cuma Langit lah yang bisa mendengarnya. Lelaki itu menghela napas panjang, kemudian balas memeluk Jingga.

"Sekarang kamu punya aku, Sadam dan Jojo juga udah gede. Nggak ada yang perlu kamu khawatirin. Kita nggak bisa ngubah masa lalu, walaupun kita mau, kan? Nggak usah dipikirin lagi," gumam Langit, mencoba menenangkan.

Ya, masa lalunya memang tidak bisa diubah, kesakitannya, penderitaan dan kesulitan yang dia alami tidak akan pernah berubah. Tapi, satu sosok yang menjadi penyebabnya masih membuat Jingga marah. Bersamaan dengan sosok ayah, kebencian dan kesakitan itu selalu kembali.

"Kakak inget orang itu lagi?" Sadam yang bertanya dengan nada dingin dan datar itu membuat Jingga mengerling ke arahnya. "Tenang aja. Kalo dia belum mati, aku yang bakal bikin dia ngerangkak minta maaf ke kakak."

Setelah mengucapkan hal itu dengan nada tak berperasaan, Sadam memilih pergi dengan gigi terkatup rapat. Jingga yang menyadari kalau dia tidak hanya membuka luka lamanya pun kembali menangis. Kenapa? Kenapa perasaan dia dan adik-adiknya begitu terhubung ke satu penderitaan yang sama?

"Biar aku kejar Sadam," Lia hendak pamit tapi di tahan oleh Jojo.

"Kakak nggak akan tau gimana caranya," kata adik bungsu Jingga itu. "Biar aku aja," lanjutnya, mengekori langkah Sadam tanpa ingin menatap Jingga.

###
NidaNurul1

Part ini aku dedikasikan buat kamu hehehee...

Maaf bagi yang nunggu lama... Bukan mau alasan sih, tapi WBnya sangat parah sampe nggak punya ide lagi buat nulis cerita ini. Alurnya susah nemu... Hiks...

Harusnya part ini pas tahun baru, ya? Tapi nggak bisa, nggak ada idee TT-TT

Tapi kayaknya part ini lumayan sukses, wkwkwkkk...

Selamat menikmati, gerbang problem yang sesungguhnyaa....

Charming BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang