12. Alasan

454 126 63
                                    

Vote dan komen dong! 😣
Btw, aku abis baca ulang cerita di akun lama, terus baru inget di sana ada draft bonchap yang belum di up 😪

###

Seperti yang Jingga duga, tubuhnya yang kaku sama sekali tidak layak di ajak berdansa. Selain tegang dengan pandangan orang-orang disekitarnya, Jingga juga sama sekali tidak pernah berpikir untuk belajar berdansa seperti sekarang.

"Harusnya tadi bapak ngajarin saya dansa! Bukan ngajak nonton anime!" Jingga menegur Langit dengan nada berbisik.

"Nanti kamu ngira yang aneh-aneh lagi atau malah kabur?" jawaban Langit jelas mengandung seringaian.

"Aneh-aneh apa? Yang aneh itu kita sekarang ini! Mana diliatin banyak orang!" keluh Jingga, semakin jengkel. Ingin sekali perempuan itu menangis, hanya dengan membayangkan betapa konyolnya mereka sekarang. Si lelaki dengan luwes bergerak kesana-kemari, sementara yang perempuan seperti robot.

"Mereka nggak ngomongin kamu, kok. Santai aja," balas Langit tenang.

Ya terus mereka bisik-bisik apa lagi selain gerakan tarinya? Jingga membatin sambil melotot pada Langit. Lelaki itu tersenyum, kemudian tanpa di komando gerakan tari mereka menjadi lebih dinamis. Tidak hanya bergerak kecil ke kanan-kiri, Langit mengajak Jingga berdansa menyeberangi ruangan.

Jingga menahan pekikan histerinya dan ganti mengeratkan pegangannya pada Langit. Ini bahkan terasa lebih mengerikan daripada dibonceng Sadam yang sedang ngebut. Jingga hampir menangis menahan malu dipelukan Langit. Seberapa konyol kejadian yang harus dia lewati malam ini?

"Jangan khawatir, Jingga. Coba kamu periksa, apa mereka bener-bener ngomogin kamu?" gumam Langit pelan. Cara bicaranya yang cepat membuat Jingga mendongak penasaran. Kenapa seolah Langit tidak ingin Jingga melakukan itu?

Tapi Langit tidak menunduk untuk membalas tatapan Jingga. Lelaki itu dengan mantap membawa tubuh mereka ke setiap sudut lantai dansa yang di kelilingi orang. Di sisi lain, orangtua Langit berdansa dengan elegan.

Agak sulit pada awalnya, karena Jingga harus berhati-hati supaya tidak terbelit kaki Langit. Namun, memang benar yang dikatakan lelaki itu. Tidak ada seorangpun yang menaruh perhatian padanya. Mereka ... Mereka semua membicarakan Langit.

"Sudah berapa lama sejak kejadian itu terjadi?" seseorang yang tidak Jingga kenal berbisik pada orang di sebelahnya. Sebelum mendapat jawaban, Langit kembali menggeser tubuh mereka.

"Padahal adiknya baru lahir ... " Seseorang lain bergumam. Langit kembali bergerak ke sisi lain.

"Apa benar dia sudah membuang adiknya sendiri?" Jingga terkejut. Pertanyaan lain muncul dipikirannya, apakah mereka benar-benar sedang membicarakan Langit?

"Dia adalah anak baik waktu kecil."

"Aku nggak percaya dia jadi kayak monster cuma karena nggak mau jadi kakak! Padahal waktu itu umur dia sudah sembilan tahun!"

Gerakan Langit tiba-tiba berhenti dan karena Jingga sangat bergantung pada lelaki itu, maka dia pun ikut diam. Tanpa mengatakan apa-apa, Langit meninggalkan Jingga di tengah lantai dansa. Lelaki itu pergi dengan kepala tertunduk, tidak mau seorangpun melihat wajahnya.

"Astaga! Liat itu! Nggak ada sopan-sopannya! Kasian orangtua dia!"

"Iya! Dia udah dewasa tapi masih aja kayak begitu!"

Jingga memandang punggung Langit yang menghilang, kemudian melirik ke arah kedua orangtua Langit yang masih berdansa seolah tidak ada yang terjadi. Seolah hal ini sudah terbiasa terjadi.

Gumaman-gumaman mengenai Langit tidak kunjung berhenti, dan anehnya orangtua Langit sama sekali tidak peduli. Apakah mereka tidak memikirkan perasaan anak mereka?

Jingga menghela napas panjang. Apa yang selama 17 tahun terakhir ini sudah Langit lewati? Bagaimana dia bisa bertahan? Jika itu Jingga, dia pasti sudah berusaha menghibur diri dengan banyak hal. Mungkin terjerumus ke dunia hitam, mengingat harta yang ada di rumah itu sangat banyak.

###

Langit berdiri didepan air mancur saat Jingga mengikutinya. Lelaki itu tampak menunduk tepekur seakan lupa sedang berada di sana. Yah, jika Langit masih merasa terganggu dengan kejadian di dalam, Jingga tidak bisa menyalahkannya.

"Pak?" Jingga memanggil. Langit menoleh kaget, buru-buru memasukkan sesuatu ke saku celananya.

"Eh? Ya?" Jingga tidak menyahut, penasaran dengan apa yang baru Langit masukkan ke dalam saku. Dia juga heran karena nampaknya Langit tidak seterpuruk itu. "O-oh! Udah malem, kamu mau pulang, ya? Ayo aku antar."

"Saya kira bapak mau kasih tau alasan kenapa bapak ingin nikahin saya?" Jingga tidak lupa. Meski kelakuan orang-orang di dalam sana sudah keterlaluan, Jingga tidak akan peduli lagi karena Langit juga tidak terbebani.

Langit sepertinya lupa, dan mungkin berharap Jingga juga demikian. Lelaki itu mengalihkan wajahnya lagi ke air mancur. Jingga berdiri disebelahnya, melongok memandang pantulan bayangan mereka di permukaan air.

"Tamu-tamu yang ada di dalam, serta orangtua bapak, apa memang selalu seperti itu?" tanya Jingga dengan nada kasual. "Padahal saya kira, saya yang akan jadi topik julid malam ini."

"Nggak mungkin aku ngajakin kamu ke tempat kayak gitu," gumam Langit pelan.

"Terus, kenapa bapak ngajak saya ke sini? Kenapa nggak sama cewek yang sering ke kantor itu aja?" Jingga mengangkat alis pada lelaki itu.

"Selain karena kamu adalah orang yang pengin aku kenalin ke mama-papa, Amelia bakal dateng sama pacarnya," jawab Langit menjelaskan.

Oh, dia sudah punya pacar? Jingga mengerutkan kening. Lalu kenapa perempuan itu suka memeluk Langit?

"Dia saudara bapak, ya?" tebak Jingga lagi. "Makanya dia deket banget sama bapak?"

Langit tertawa kemudian menggeleng. "Bukan. Dia selingkuhan papaku," katanya tenang.

"Hah?" mata Jingga melotot maksimal. Perempuan yang mungkin seumurannya itu tidak mungkin selingkuhan Papa Langit. Ma-maksudnya ...

"Dulu dia salah satu temenku, terus karena aku pengin keluar dari circle-ku yang dulu, dia jadi deket sama papa." Langit berusaha menjelaskan seringan mungkin, berharap Jingga bisa mengerti dengan itu.

"Maaf, tapi saya masih nggak ngerti. Kalau bapak sama dia dulu temenan, dan kalian terus nggak temenan lagi, apa hubungannya sama papanya bapak?" Ya, kan cuma temen, kan?

"Jingga, apa kamu beneran nggak ngerti?" Langit balas bertanya dengan nada suara yang berbeda. Jingga balas memandangnya, masih berusaha untuk positive thinking.

Langit meraih salah satu tangan Jingga, merogoh saku celananya dengan tangan lain dan mengeluarkan buku kecil. Jingga memicingkan mata, mengenali sampul yang sudah lusuh itu.

"Kalau kamu tanya kenapa aku pengin nikah sama kamu, jawabannya karena kamu bikin aku jadi manusia lagi," kata Langit lirih. "Jadi monster yang orang-orang di dalam bilang itu, sakit. Aku nggak mau jadi monster, tapi lingkunganku sebusuk ini. Kalau aku nggak ketemu kamu dan nemu buku ini, kayaknya kita nggak akan pernah ketemu."

Jingga membuka buku kecil itu dengan perasaan ingin tau. Hatinya mencelos, mengenali tulisan dan cerita yang ada di setiap halamannya. Itu adalah diary yang sudah lama dia buang.

"Darimana bapak dapat ini?" tanya Jingga.

"Aku pernah dateng ke cafe tempat kamu dulu kerja" Jawaban Langit membuat Jingga mendongak. "Aku liat kamu buang itu pas Sadam dateng, jadi aku penasaran dan ambil."

Jingga tidak sanggup untuk berkomentar. Dia ingat hari itu. Sadam dan Jojo sedang dalam masa menjadi orang paling rese sedunia. Mereka suka sekali mencari tau apapun yang Jingga lakukan. Jingga tidak pernah ingin adik-adiknya tau bagaimana perasaannya tentang keadaan mereka pun menulis diary untuk mengungkapkan setiap kejadian berat yang menimpanya. Maka dari itu, Jingga memutuskan untuk membuang diary itu.

"Sebenernya aku nggak mau nunjukin diary itu ke kamu, soalnya aku nggak mau kehilangan jati diri lagi. Aku nggak mau masuk ke dunia monster lagi."

###

Charming BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang