18. Bisa?

489 123 44
                                    

Jingga mendekap jemariny di depan dada, memandang Krisna yang duduk di sebelahnya dengan sorot penuh harap. Memang, di kala dia sedang bingung, Krisna adalah pilihan tepat. Jingga sudah mengeluarkan permasalahan yang akhir-akhir ini mengganggunya pada lelaki itu, sekarang tinggal menunggu tanggapannya saja.

Namun, sejak setelah seblak askarnya datang hingga kini menjadi hangat, Krisna belum mengatakan apa-apa. Tentu saja hal itu membuat Jingga gelisah.

"Mas, gimana menurutmu?" Jingga mendesak Krisna untuk mengeluarkan suara. Lelaki itu menghela napas panjang, kemudian menyenderkan badannya ke senderan kursi.

Orang-orang berlalu-lalang, sekilas menoleh ke arah mereka kemudian membuang muka tidak peduli. Untunglah hari ini Jingga masuk pagi, sehingga dia bisa mengajak Krisna bertemu di mall dekat kampus lelaki itu sepulang kuliah.

"Susah, sih. Maksudku, itu sepenuhnya terserah sama kamu. Kamu mau dan siap atau enggak untuk terima Pak Langit?" Sahut Krisna setelah berpikir sekian lama.

"Enggak." Jingga menjawab secara otomatis hingga Krisna menatapnya cukup tajam. "Kamu kan tau sendiri aku nggak suka sama laki-laki. Dan, aku juga nggak begitu kenal sama Pak Langit," lanjutnya membela diri.

"Tapi bukannya kamu bilang Pak Langit sering ke rumahmu? Deket sama adik-adikmu? Masa kamu nggak tau kira-kira Pak Langit kayak gimana?" Balas Krisna.

"Baik! Dia baik! Tapi nggak tau dalemnya gimana. Itu yang aku takutin!" Sahut Jingga.

"Jingga, semua orang punya sifat buruk. Semuanya! Kamu nggak mungkin dapet orang yang sesuai maumu!" Tukas Krisna. "Sekarang, coba kamu pikir, sejak kamu deket sama Pak Langit, apa yang bikin kamu nggak suka? Beliau ngelecehin kamu? Beliau kasar sama kamu? Dia jebak kamu?"

Jingga hanya menggelengkan kepala untuk menjawab semua pertanyaan Krisna. Perempuan itu kemudian meletakkan dagunya di atas meja sambil menghela napas.

Apa yang membuat Jingga tidak ingin menerima Langit? Hanya sebatas, Jingga tidak mempercayai lelaki itu.

"Mas," Jingga memanggil Krisna dengan nada lesu.

"Hm?" Krisna menggumam pelan.

"Kalau kamu aja yang jadi suamiku, gimana?" Jeda sunyi cukup lama. Jingga tidak menoleh untuk melihat reaksi Krisna. Toh, ucapannya tadi tidak dimaksudkan secara serius. Jingga hanya berpikir, kalau dia menikah dengan Krisna maka dia perlu merasa takut. Jingga sudah mempercayai Krisna sejauh itu.

"Kamu becanda, kan?" Tanya Krisna hati-hati.

"Hah! Kamu nggak mau, kan? Kenapa ya, orang yang kita pengin nggak pernah mau sama kita?" Dumel Jingga. Krisna mendengus geli.

"Jingga," kali ini giliran Krisna yang memanggil Jingga.

"Hm?"

"Kamu nggak perlu takut. Aku yakin kok Pak Langit nggak mungkin jahatin kamu. Lagian, kamu bisa dateng ke aku kapan pun kamu butuh. Aku bakal bantu semampuku," katanya.

"Aku tau," sahut Jingga. Perempuan itu tau Krisna akan selalu membantunya karena lelaki itu adalah orang yang baik.

"Tapi, kamu tau nggak kalau Pak Langit khawatir banget waktu kamu masuk rumah sakit? Beliau peduli sama kamu. Aku tau itu karena merhatiin--" Krisna langsung terdiam, tidak melanjutkan ucapannya.

"Merhatiin apa?" Tanya Jingga ingin tau.

"Aku nggak sengaja lihat Pak Langit waktu kita di kantin. Udah lama sih, dan kayaknya kamu juga tau. Aku pikir, awalnya cuma kebetulan, tapi ternyata enggak, ya? Abis kejadian Dio, Pak Langit pernah manggil aku buat cari informasi kenapa kamu bisa seterpukul itu. Karena aku juga nggak tau, dia terus ngajak ngobrol soal kamu. Ternyata Pak Langit tau banyak, ya?" Ucap Krisna dengan ekspresi termenung.

Charming BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang