Ayo vote dan komen yg banyak biar bisa double update! Hehehe ..
###
Saat membuka mata, kepala Jingga terasa pusing luar biasa dan perut sangat mual. Matanya berkunang-kunang saat berusaha mengenali waktu. Jam berapa sekarang? Apakah masih pagi? Sudah siang?
"Kamu udah bangun?" Suara Langit terdengar sangat masam.
Tubuh Jingga lemas, pun pikirannya juga tidak karuan. Apa yang terjadi, ya?
"Gimana rasanya mabuk?" Ah! Jingga ingat sekarang. Perempuan itu meringis serba salah pada suaminya yang mengulurkan secangkir minuman dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak. "Yang nyuruh Regina?"
Jingga masih tidak sanggup menjawab meski air yang ada di cangkirnya sudah tandas. Dia baru kali ini melihat Langit marah padanya.
"Lain kali kalau nggak tahan sama sikap Amel, bilang aja! Aku nggak suka kamu nyentuh hal-hal kayak gitu," kata Langit.
"Bukan gitu, kok," sahut Jingga. Sekarang dia ingat, karena terlalu jengkel setelah dipandang rendah oleh teman-teman Langit, Jingga mengambil satu gelas minuman beralkohol dalam sekali teguk untuk membuktikan bahwa dirinya juga bisa jika harus menjadi brengsek seperti mereka. Sekarang, Jingga menyesali sikap bodohnya itu.
"Terus gimana? Coba kasih alasan yang masuk akal" Perintah Langit membuat Jingga tambah sakit kepala. Entah alasan manapun yang dia beri, Jingga tetap berpikir tindakannya salah. Jelas Langit juga menyadarinya.
"Maaf aku salah. Nggak akan aku ulang lagi," guman Jingga.
"Aku tau kamu salah, dan jelas aku nggak bakal biarin kamu ngulang," tukas Langit. "Tapi alasannya apa? Kalau tau itu karena temen-temenku--"
"Bukan kok!" Jingga tetap berkilah.
"Bukan gimana? Kamu inget gimana semalem waktu kamu mabuk?" Langit melotot garang hingga membuat nyali Jingga menciut. Perempuan itu menggelengkan kepalanya pasrah.
"Kamu ngomelin aku, maki-maki temen-temenku, teriak-teriak. Ampun, deh!" Langit menghela napas frustasi.
"Nggak akan gitu lagi, sumpah! Rasa minumannya juga nggak enak," ucap Jingga memelas. Dan daripada takut, Jingga justru penasaran tentang apa saja yang sudah dia ucapkan ketika mabuk. Wah, sial! Dia sama sekali tidak ingat.
"Lain kali, aku nggak kasih toleran walaupun itu idemu sendiri atau ide yang di kasih Regina, paham?" Jingga mengangguk patuh saat Langit memandangnya tegas.
"Kamu nggak kerja, Mas?" Jingga baru memperhatikan setelah tatapan Langit melembut.
"Enggak, soalnya isteriku abis mabuk. Pasti kamu ngerasa nggak enak badan, kan? Mandi sana, udah aku siapin sarapan sama obat" Lelaki itu kemudian bangkit dari samping Jingga.
Sepeninggal Langit ke ruang depan, Jingga masih nyengir salah tingkah. Dia sepenuhnya mengerti sikap Langit hari itu. Toh, Jingga merasa sudah kelewatan. Buat apa dia sok keren di depan teman-teman Langit? Kenapa juga dia mau menuruti saran Regina untuk mabuk supaya bisa menggoda Langit?
Ah! Dia mulai dikelilingi orang-orang aneh! Mungkin, Jingga harus menginap di rumahnya sendiri untuk beberapa hari, menghabiskan waktu bersama adik-adiknya seperti dulu.
"Ah! Mas! Ini hari pembukaan cafe ya?!" Jingga menyusul Langit dengan mimik panik. Padahal ini hari yang penting, tapi Jingga justru malas-malasan begini.
"Sadam sama Jojo udah di sana buat bantu, jadi kamu nggak perlu ke sana lagi. Aku bilang ke mereka kalau kamu sakit," jawab Langit, memegangi tubuh Jingga yang masih sempoyongan.
"Hah? Emangnya mereka bisa? Mereka nggak pernah--" Jingga berhenti bicara saat telunjuk Langit menempel dibibirnya.
"Justru cafe bakal dapet kesan pertama yang bagus ke pelanggan kalau mereka jadi waitres di hari pembukaan," kata Langit, tampak sangat yakin.
"Kok?" Jingga masih tidak paham maksud kata-kata suaminya.
"Muka mereka kan menjual. Permulaan yang bagus banget karena sasaran pasar kita itu anak-anak muda," jelas Langit. "Kalau masih belum jelas, mending kamu pikirin sambil mandi."
Lelaki itu pergi ke ruang kerjanya setelah menyentil dahi Jingga yang masih berusaha berpikir. Jadi, maksudnya, Sadam dan Jojo jadi magnet pembeli, gitu?
Wah, Jingga tidak menyangka adik-adiknya bisa berguna dengan cara seperti itu!
###
"Mas, aku penasaran," ucap Jingga begitu Langit bergabung di depan tv bersamanya.
"Apa?" Sahut lelaki itu, melepas kacamata dan memijit pangkal hidungnya yang pening.
"Emang waktu aku mabuk, aku ngomong apa aja?" Tanya Jingga. Meski berbicara, tangan perempuan itu tidak absen menyomoti camilan di atas pangkuannya.
"Kenapa kamu mau tau?" Balas Langit.
"Penasaran aja. Kalau maki-maki Amel, kayaknya sih aku bisa bayangin, tapi ngomelin kamu? Soal apa?" Meski dipikirkan berkali-kali pun Jingga masih tidak bisa menebak tentang hal itu. Dia mengomeli Langit?
"Soal kenapa aku masih temenan sama mereka? Kayaknya semua yang kamu pendam soal lingkungan pertemananku keluar semua semalem," jawab Langit, membuat Jingga berhenti mengunyah dan menatap lelaki itu tidak percaya.
Oke! Jingga sudah tau jawaban dari pertanyaannya. Tentu saja wajar Jingga mempertanyakan hal itu setelah sekian lama tidak bertemu teman-teman Langit, kan? Toh mereka sudah tidak saling menyukai sejak pertemuan awal.
"Aku minta maaf, deh!" Ucap Jingga tidak enak hati.
"Aku nggak apa-apa, kok. Lagian yang kamu omongin semuanya bener," balas Langit.
"Yaudah, aku minta maaf lagi."
"Nggak apa-apa, Sayang. Nggak usah merasa nggak enak begitu," Langit terkekeh kecil.
"Aku minta maaf buat hal yang berbeda, kok," sangkal Jingga membuat Langit bingung. Perempuan itu kemudian nyengir, menaruh toples camilannya ke meja dan menghadap lurus ke arah Langit. "Maaf ya, kamu harus ada di lingkungan itu dalam waktu yang lama. Pasti nggak enak, ya? Kamu udah nggak harus maksain diri buat ada di lingkungan itu lagi, kok!"
Langit kehilangan kata-kata. Ucapan Jingga membuatnya terharu, seolah perempuan itu tau seberapa berat Langit berusaha bertahan dan mencari uluran tangan dari seseorang selama masa sulitnya.
"Ututututuu, Sayang ... Sini peluk!" Jingga menarik Langit ke pelukannya hingga suasana hati lelaki itu kembali membaik. Jingga juga menepuk-nepuk punggung Langit lembut. "Hidup, tolong jangan terlalu kejam sama suamiku, ya! Baik-baik sama dia kalau nggak mau aku marahin!"
Langit terkekeh di pelukan Jingga, merasa tubuh lelahnya mulai terasa segar, air mata lelaki itu juga hampir tumpah merasakan ketulusan isterinya. Langit mendorong tubuh Jingga ke sofa dan bergelung bersama perempuan itu dengan nyaman.
"Ada satu lagi yang kamu omongin, tapi aku nggak yakin buat bilang ke kamu," ucap Langit pelan.
"Apa?"
"Soal hubunganku sama Amel di masa lalu, kamu nggak mau tau?" Tanya Langit. Jeda cukup lama, Jingga terdiam bimbang.
"Apa aku harus tau?" Tanyanya balik.
"Kalau kamu nggak mau tau, aku nggak akan cerita," jawab Langit, melepas pelukan Jingga dan kembali duduk. Ada senyum masam di wajahnya. "Walaupun sebenernya nggak pantes buat diceritain juga."
"Aku mau denger, kok. Kalau kamu nggak keberatan," sahut Jingga cepat. Ekspresinya yang penuh perhatian membuat Langit gelisah. "Kalau susah buat kamu cerita, aku nggak maksa."
"Bukan susah," bantah Langit. "Aku cuma nggak tau harus cerita darimana."
"Kalau ceritanya tanpa liat mukaku, bisa ngebantu?" Jingga mengusulkan hal itu karena merasa Langit mungkin saja malu padanya.
"Caranya?"
"Sini peluk lagi?"
###
KAMU SEDANG MEMBACA
Charming Boss
General FictionSeperti cerita yang umumnya muncul dalam sebuah cerita, kisah pertemuan antara Langit dan Jingga membuat geleng-geleng kepala. Tidak seperti tema Tom and Jerry, Dilan dan Milea atau pun Mr. dan Mrs. Grey, yang membuat para penikmatnya geregetan, cer...