Ada yang kangeeennn????
###
Meskipun bilang kalau mereka butuh bicara, toh setelah sepuluh menit di apartemen Langit mereka berdua masih terdiam. Masing-masing hanyut dalam pikiran mereka, sampai tanpa sadar Jingga menghela napas berat.
Langit mencair dari kebekuannya dan bergerak sedikit.
"Maaf," gumamnya. "Kamu nggak perlu mikirin ucapan mama. Kalau kamu mau kerja, aku nggak ngelarang."
"Aku nggak marah," jawab Jingga, namun air matanya mengalir dengan bibir mengerucut. Langit meringis lalu menggenggam tangan Jingga.
"Nggak usah dipikirin omongan mama, Sayang. Dia emang kayak gitu," kata Langit hampir terdengar memohon--supaya Jingga tidak menangis, mungkin?
"Nama keluarga besarmu sepenting itu ya, Mas?" Gumam Jingga lirih. "Maaf, aku terbiasa nggak mikirin nama baik keluarga selama yang aku kerjain bener. Kalau dari dulu aku mikirin nama keluargaku bakal jelek dimata tetangga karena aku pernah kerja di kafe sebagai waitress atau cleaning service, aku sama adek-adek nggak akan bisa makan soalnya. Gimana bisa aku nyekolahin mereka?"
"Jingga," suara Langit tercekat. "Aku ngerti, makanya aku nggak ngelarang kamu. Toh, selama kita nikah nggak ada masalah sebelum mama muncul kayak tadi. Bukan salah kamu. Seandainya, adekku nggak hilang, mama pasti nggak akan kayak sekarang"
Jingga tidak menyahut, hanyut dalam pikirannya sendiri. Perasaannya cukup kacau untuk menangkap secara cepat apa yang telah Langit katakan. Pekerjaan mereka tidak pernah bermasalah, karena di kantor, mereka bekerja sebagai profesional, bukan pasangan. Baik Jingga maupun Langit tidak pernah membawa pekerjaan ke rumah, atau membawa masalah keluarga ke kantor. Selain itu, orang-orang yang mengetahui tentang pernikahan mereka pun terbatas. Dikantor hanya Krisna dan dua asisten Langit. Apa masalah yang bisa terjadi?
Seperti kata Mama Langit, datangnya kolega bisnis yang mengetahui hubungan Jingga dan Langit ke kantor. Tapi masalahnya, sampai saat ini belum pernah muncul hal yang seperti itu. Langit lebih suka membicarakan bisnis dengan koleganya di luar kantor. Terkecuali Amel yang tidak Jingga mengerti arti eksistensinya.
Mereka yang terlalu sembrono, atau Mama Langit yang overreaction?
Tidak berkerja atau bercerai, ya? Kalau Jingga pikir ulang, dia masih tidak mengerti kenapa dia harus menikah? Dia menerima Langit karena, yah, Jingga merasa Langit membutuhkan keluarga dan keluarganya lah yang diinginkan lelaki itu. Di sisi lain, Jingga juga ingin menegaskan kalau dia menikahi Langit karena uang. Jingga terbiasa hidup mandiri, takut untuk bergantung kepada orang asing, dan merasa mampu.
Tentu saja disetiap hari hidupnya tidak semudah yang dia bayangkan. Jingga juga lelah, muak, marah pada hidupnya. Dia ingin bersandar pada seseorang, diayomi dan dimanja. Meskipun Langit bisa diandalkan untuk segala hal, Jingga masih takut untuk bersandar padanya. Takut, kalau suatu saat Langit pergi meninggalkannya untuk alasan apapun. Jingga rasa, dia tidak akan kuat menanggung rasa sakit itu.
Belum lagi, setelah menikah Jingga lebih tau tentang Langit. Beban yang dipikulnya sebagai anak tunggal orang kaya, bos besar di perusahaan sendiri, dan sekarang dia telah menjadi kepala keluarga. Jangan lupakan lingkungan Langit yang tidak sehat. Terkadang, Jingga ingin Langit bersandar padanya walau hanya sebentar.
Sekarang, setelah mengesampingkan egonya, Jingga mulai bisa berpikir jernih. Dia tidak mungkin kembali bekerja di perusahaan Langit. Selain karena kata-kata ibu mertuanya, kini orang-orang sudah tau kalau dia dan Langit telah menikah. Hal itu tentu akan membuat sebuah perbedaan yang cukup besar. Namun, Jingga juga tidak bisa untuk diam saja karena Sadam dan Jojo bukanlah tanggung jawab Langit.
###
"Apa maksud kamu soal adekmu hilang?" Tanya Jingga setelah beberapa saat diam. Langit yang awalnya menatap lantai dengan pandangan datar pun mendongak.
"Oh?" Gumamnya pelan, kemudian tersenyum sedih. "Kamu nggak inget omongan orang-orang pas aku ajak ke rumah orangtuaku dulu? Pas ada pesta?"
Jingga berpikir sebentar. "Inget," katanya. "Kata mereka, kamu buang adekmu setelah dia lahir?"
"Padahal semua orang di rumah tau kalau aku nggak bersalah," Langit terkekeh pahit.
"Maksudnya?"
"Aku dirumah waktu mama ngelahirin di rumah sakit. Aku bahkan belum liat wajah adekku, tapi udah di tuduh macem-macem. Maksudku, emangnya anak usia sembilan tahun bisa apa, sih?" Langit mendengus.
"Semua orang langsung percaya kalau kamu yang buang? Kok aneh, sih? Nggak masuk akal!" Tukas Jingga yang di balas Langit dengan kedikkan bahu.
"Kalau dia nggak hilang, mama pasti nggak akan kayak sekarang. Atau, aku harap mama nggak peduli ke aku kayak dulu-dulu aja. Buatku, tugas mereka sebagai orangtua udah selesai. Terserah mereka yang udah ngejalaninnya kayak apa. Ini udah jadi hidupku, dan mereka nggak ada hak buat ngatur-ngatur lagi," kata Langit dengan nada yang sering Jingga dengar. Keras kepala. Atau lebih tepatnya, Langit mengeraskan hatinya sendiri.
"Padahal kamu udah marah soal Amel, tapi mama malah nambah-nambahin." Jingga langsung melebarkan matanya begitu mendengar ucapan Langit, ditambah helaan napas frustasinya.
"Aku nggak marah sama kamu," kata Jingga. "Aku udah bilang kalau aku ketemu Amel di depan kantor. Dia bikin aku tersinggung hari itu, jadi aku marahnya ke dia, bukan kamu. Cuma, kamu bahas dia terus, makanya aku tambah kesel" Jingga melanjutkan saat Langit tidak percaya kata-katanya.
"Emangnya Amel bilang apa?"
"Dia nyinggung pekerjaan, trus kusinggung balik. Dia nggak terima, ya bodo amat," jawab Jingga sambil cemberut. "Terus dia bilang, aku sok baik di depan kamu. Karena dia yang marah, ya anggapanku, aku yang menang."
Langit mengusap wajahnya kasar begitu mendengar penjelasan Jingga. Tidak perlu meragukannya, karena Jingga memang tidak bisa berbohong.
"Amel dateng buat ngajak kerjasama. Dia mau buka butik dan butuh sponsor untuk itu. Temen-temen yang lain juga di tawarin. Aku setuju karena emang Amel ada bakat di dunia fashion. Hitung-hitung buat investasi jangka panjang. Aku nggak ada niat lain," ucap Langit menjelaskan.
"Aku nggak peduli," sahut Jingga. "Selama dia nggak ngajak aku perang, aku nggak akan peduli dia ngapain. Masalahnya, dia udah jatuhin bom pertama ke aku. Jadi, kalau temen cewekmu itu kenapa-napa, jangan salahin aku."
Langit pun mulai tersenyum. "Bilang aja kalau kamu butuh bantuan. Selama aku bisa bantu, dan nggak menyebabkan kamu di penjara, aku bakal bantu," katanya.
Jingga menggelengkan kepala menolak tawaran itu.
"Ini perang antar cewek. Kalau dia mau minta bantu orang lain silakan, aku nggak takut!"Langit tersenyum lebar dan mengusap kepala Jingga.
"Iya-iya! Aku percaya kamu cewek kuat! Tapi jangan lupa, kamu udah punya tempat istirahat kalau capek berjuang sendiri."Langit mengecup kening Jingga, kemudian berlalu menuju kamar. Sorot mata Jingga berubah sayu. Langit jelas lelaki yang diinginkan Jingga, bolehkah dia bersandar? Bolehkan dia meletakkan hatinya pada lelaki itu sepenuhnya? Bolehkan Jingga menjadikan kepercayaan sebagai bahan judi dengan kehidupan? Sebagai Langit sebagai taruhannya? Apa Langit benar-benar bisa di percaya?
###
KAMU SEDANG MEMBACA
Charming Boss
General FictionSeperti cerita yang umumnya muncul dalam sebuah cerita, kisah pertemuan antara Langit dan Jingga membuat geleng-geleng kepala. Tidak seperti tema Tom and Jerry, Dilan dan Milea atau pun Mr. dan Mrs. Grey, yang membuat para penikmatnya geregetan, cer...