Ruang kerja Langit tampak rapi dan bersih ketika Jingga masuk. Satu meja kerja yang besar menghadap ke arah pintu, sementara sofa mahal tampak di sudut kanan ruangan. Pintu kayu di sisi lain Jingga tebak sebagai toilet pribadi.
Langit mempersilakan Jingga duduk di sofa kemudian lelaki itu juga mengambil tempat sendiri. Ekspresi Langit yang tampak serius membuat Jingga gugup.
"Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Langit. Jingga mengelap telapak tangannya ke celana seragam yang dia pakai, keringat dingin itu mulai bermunculan.
"Mmm..." gumam Jingga tidak jelas. Segala hal yang ingin dia sampaikan lenyap entah kemana.
"Kenapa kamu gugup begitu? Santai saja, Jingga." Langit mengerutkan kening, lalu menyandar ke punggung sofa dengan nyaman. "Apa kamu ke sini untuk menjawab lamaranku tempo lusa?"
Jingga menunduk dan merapatkan bibir. Duh, dia takut untuk mengatakannya pada lelaki itu. Tapi, harus bagaimana lagi?
"Sebelumnya, saya meminta maaf. Saya tidak bisa menerimanya, Pak. Selain karena saya tidak mengenal bapak, saya sendiri tidak memiliki keinginan untuk menikah. Apalagi, saya punya dua adik yang masih harus saya urus. Maafkan saya. Jika bapak ingin memecat saya, saya akan terima." Jingga mengatakan semua itu dengan wajah tertunduk dalam dan suara lirih. Meski begitu, dia yakin Langit masih bisa mendengar ucapannya.
"Aku mengerti kalau kamu merasa kita belum saling kenal. Tapi, kenapa kamu nggak mau menikah? Bukannya adik-adikmu sudah besar semua?" balas Langit.
"Saya hanya tidak menginginkannya. Begitu banyak hal buruk yang telah saya lihat dalam hubungan pernikahan. Saya merasa, kehidupan saya sudah sangat menyedihkan sekarang, tanpa ditambah dengan kehadiran orang asing. Bagi saya, pemikiran tentang pernikahan terasa sangat menjijikkan saat ini. Jadi--"
Cerocosan Jingga berhenti saat tiba-tiba Langit menggenggam tangan dan berlutut di depannya. Ekspresi lelaki itu tampak lembut.
"Aku mengerti. Tapi Jingga, aku bukan orang seperti itu. Kamu bisa menyelidikinya jika kamu mau. Aku janji, aku nggak akan ngelakuin hal yang bikin traumamu semakin parah. Aku akan menyembuhkannya." Langit tersenyum sambil mengelus rambut Jingga. Sikap lelaki itu, cara dia memberi Jingga kenyamanan hampir membuat perempuan itu menangis terharu.
"Maaf sudah membuatmu ketakutan dan merasa tertekan dengan kata-kataku, tapi aku harap kamu nggak berpikir kalau aku cuma main-main. Aku serius, Jingga. Aku ingin menjagamu," lanjut Langit, menatap langsung ke dalam mata Jingga yang tampak berkaca-kaca.
"Tapi, saya tidak mau membebani anda dengan semuanya. Masalah saya bukan masalah yang sepele," tukas Jingga.
"Aku tau," balas Langit. Lelaki itu menghapus air mata yang tidak sengaja keluar dati mata Jingga. "Kamu sudah berjuang sendirian sampai saat ini. Waktunya istirahat dan ngasih beban itu ke orang yang lebih mampu. Dan aku mampu. Kamu nggak perlu mengkhawatirkan apapun."
Jingga ingin menangis keras. Benar kata Langit. Dia sangat lelah. Baik secara fisik maupun emosional. Menjadi orangtua sekaligus kakak bagi adik-adiknya, menangani semua masalah keluarga dan membunuh semua keinginannya sendiri. Dia lelah.
Pundak Langit tiba-tiba saja menjadi bantal untuk Jingga mengeluarkan airmata. Satu tangan lelaki itu mengusap rambut, satu lagi masih memegang tangan Jingga dengan lembut.
"Kita nggak perlu buru-buru. Kamu pikirkan matang-matang, dan kita bisa menikah begitu kamu siap. Aku nggak di kejar siapapun atau apapun, jadi jangan khawatir." Langit bergumam dengan nada suaranya yang lembut.
###
"GEMPA! ADA GEMPA!!"
Jingg tersentak kaget dari lamunannya begitu mendengar suara menggelegar Sadam. Jojo yang duduk di sebelah kirinya tertawa terbahak begitu melihat reaksi Jingga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Charming Boss
Ficción GeneralSeperti cerita yang umumnya muncul dalam sebuah cerita, kisah pertemuan antara Langit dan Jingga membuat geleng-geleng kepala. Tidak seperti tema Tom and Jerry, Dilan dan Milea atau pun Mr. dan Mrs. Grey, yang membuat para penikmatnya geregetan, cer...