3. Nggak Ada Akhlak

679 157 45
                                    

Hari ini ada rapat akbar di perusahaan untuk membahas perkembangan yang terjadi di tahun ini, sekaligus merencanakan strategi tahun depan. Sejak pagi, sekumpulan pembersih sudah merapikan ruangan. Termasuk di dalamnya adalah Jingga.

"Ah, gila, sih. Aku butuh asupan kebahagiaan," salah satu teman kerja Jingga mengeluh. "Pak Langit, tolong angkat aku sebagai isterimu, please..."

Dio yang berada di kumpulan itu pun tertawa. "Nggak usah mimpi deh, Ri. Mana mau Pak Langit nikah sama kentang kayak kamu? Rugi di dia, dong!" katanya meledek.

"Dih, kalau yang namanya jodoh, mau direktur kek, dokter kek, atau tukang sampah juga pasti nyantol, Yo! Sirik aja!" balas Riri sengit.

"Yah, walau nggak jadi isterinya, paling enggak bisa liat mukanya tiap hari lah! Buat cuci mata." Teman Jingga yang lain, Susan ikut berkomentar.

"Iya, kan?" timpal Riri setuju.

"Yang kalian liat dari Pak Langit tuh, apanya, sih? Mukanya? Duitnya?" Krisna, teman Jingga yang lain menghentikan pekerjaannya sebentar untuk menegur. "Kalau kalian liat enaknya doang, mending jangan ngarep. Kasian Pak Langitnya kalau gitu. Kalian di kondisi sekarang, karena kalian emang pantes dapetin itu. Entah buat upgrade atau ngehukum, jadi jangan kebanyakan ngeluh!"

Riri serta Susan saling melirik sebelum kembali membersihkan ruangan sambil manyun. Jingga yang sebelumnya menikmati debat kusir mereka pun mengikuti.

Dari semua orang yang sejauh ini Jingga kenal, Krisna mungkin salah satu yang akan dia percaya. Belum lagi kenyataan kalau Krisna sedang menempuh kuliah di bidang psikologi. Entah mengapa Jingga langsung memandangnya dalam perspektif yang lebih baik.

Pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Seorang wanita paruhbaya yang berdandanan tebal masuk dan mengamati sekitar. Keempat teman Jingga bergegas membentuk satu garis.

"Selamat datang, Nyonya." Keempat teman Jingga memberi contoh yang harus dia teladani.

"Aku dengar ini adalah tempat untuk melakukan rapat?" tanyanya dengan nada datar, matanya menilisik dingin.

"Benar, Nyonya." Krisna menyahuti sopan.

"Susun kursi dan mejanya sekali lagi, lalu kembali bersihkan." Wanita itu memerintah. "Langit buang-buang waktu dan uang! Kenapa dia memperkejakan kalian dan bukannya tenaga profesional? Bukankah ini rapat penting? Dimana penanggung jawab kalian? Biar aku yang bicara padanya!"

Semua orang menunduk tidak berani menjawab. Perkataan wanita itu sungguh menyakitkan. Mereka sudah bekerja keras, tapi tidak ada satu pun kata menghargai dari bibir merah menyalanya.

"Mama!" Jingga mendongak saat mendengar suara Langit menggema. Lelaki itu datang dengan terburu-buru bersama Angel. "Kenapa mama ada disini?" Lelaki itu terdengar tidak senang.

"Hanya mengecek pekerjaanmu. Seperti biasa, kau hanya buang-buang waktu. Aku heran kenapa kau bisa masuk ke majalah bisnis?" wanita yang dipanggil mama oleh Langit itu tersenyum sinis. "Jangan mempermalukan nama keluarga hanya untuk hal yang tidak berguna." Mama Langit kemudian menggidikkan dagu ke arah Jingga dan teman-temannya. "Dan cari pekerja yang bisa bekerja dengan baik. Bukan hanya yang membutuhkannya."

"Jika mama datang kemari hanya untuk menyakiti hati orang, mama bisa langsung ke kantorku," balas Langit tanpa emosi. Dengan ringan, tangan Langit terulur ke lengan mamanya, menarik lembut agar mengikutinya. Namun, wanita itu justru menepis kasar.

"Tidak perlu. Aku tidak punya waktu untuk mengurusimu." Dan dia pergi begitu saja.

Semua orang diam, tidak berani bersuara ataupun bergerak. Ekspresi terluka tergambar jelas di wajah Langit setelah menerima perlakuan dari ibunya sendiri. Jingga ingin melakukan sesuatu untuk menghibur Langit, tapi pandangan perempuan itu kembali menunduk saat mata mereka bertemu.

"Maaf untuk kata-kata kasar ibuku pada kalian. Jangan di ambil hati, ya? Dia hanya terlalu perfeksionis." Jingga mendongak, sempat melihat sorot pahit didalam mata Langit sebelum lelaki itu pergi lagi bersama Angel.

Astaga! Apa dia barusaha menonton drama?

###

"Ah, aslian. Walau aku pengen jadi isteri Pak Langit, tapi aku nggak mau punya ibu kayak Bu Nawang. Serem!" Lagi-lagi Riri menyerocos. Suasana kantin sudah sepi dan tinggal mereka berlima saja.

"Makanya, jangan mandang orang dari luarnya aja! Nggak mungkin ada yang sempurna di dunia ini!" balas Krisna. "Pak Langit keliatannya aja selalu senyum. Nggak tau aja di belakang kita dia gimana, kan?"

Jingga yang awalnya ikut mendengarkan jadi memikirkan Langit. Apa lelaki itu melakukan kesalahan besar? Mengapa ibunya bersikap seperti itu?

Bukannya kepo, tapi Jingga memang benar-benar penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada Langit. Jingga tau dia tidak akan bisa melakukan apapun untuk lelaki itu, tapi dia berharap bisa membantu. Dia punya cukup simpati pada sesama.

"Halo, halo! Selamat siang! Ini dari post keamanan satu. Untuk Putri Jingga diharap kedatangannya dengan segera. Terimakasih."

Jingga menatap pengeras suara sementara teman-temannya menatap dia bingung.

"Apa yang terjadi?" tanya Susan.

"Nggak tau," jawab Jingga. "Aku ke sana, deh!"

"Mau aku temenin, Jing?" Dio menawarkan diri, tampak cemas.

"Nggak usah, Mas." Jingga nyengir cepat kemudian bergegas menuju post keamanan yang berada di depan gedung perusahaan. Dia yakin, dia tidak melakukan kesalahan apapun, tapi nyatanya dia tetap gugup.

Perasaan itu sirna begitu dia melihat dua sosok adiknya menunggu di depan post keamanan. Dan mereka masih memakai seragam sekolah.

"Kalian ngapain sih, kesini?" tanya Jingga begitu sampai ditempat tujuan.

"Jojo penasaran sama tempat kakak kerja," jawab Sadam sambil menunjuk bocah remaja yang duduk nyengir di boncengan motornya.

Jingga geleng-geleng kepala dan berjalan lebih dekat.
"Baru pulang sekolah? Udah makan?" tanyanya, menatap kedua adiknya bergantian.

"Nah! Itu dia!" sahut Sadam.

"Minta duit buat beli mie ayam bakso dong, kak?" ucap Jojo. Jingga langsung mengerutkan kening.

"Bukannya di rumah masih ada sayur sama nasi?" balas Jingga defensif.

"Bosen. Sesekali doang, kak. Jangan pelit, dong?" Sadam menyahut sambil cemberut.

"Bukannya pelit, ya. Tapi duitnya buat bayar sekolah kalian. Mau diambil rapornya atau enggak?" jawab Jingga dengan nada menegur.

"Ngapain juga diambil. Udah tau nilaiku jelek. ADUH!" Sadam melemparkan pandangan sengit ke arah kakaknya yang dengan penuh perasaan memukul belakang kepala.

"Punya nilai jelek nggak usah sombong! Nggak usah diumumin ke berbagai negara! Sana pulang!" usir Jingga, balas melotot.

"Alah, kak! Please! Aku pengen makan itu! Sekali aja?" pelas Jojo.

"Nggak! Tunggu kakak gajian!" jawab Jingga tegas. Jojo langsung menunduk, kecewa tapi tidak bisa memaksa.

"Warung bakso di sebelah sana enak. Kalau kalian mau, aku bisa traktir." Jingga menoleh kaget begitu mendengar suara Langit. Lelaki itu tersenyum ramah pada kedua adiknya, tidak memperhatikan kalau Jingga ternganga karenanya.

"Serius?"

"Kakak temen kerjanya Kak Jingga, ya?"

"Kalau gitu, ayo cus! Kami nggak minta, tapi kakak nawarin diri, ya? Jangan nyesel pokoknya!"

Langit tertawa mendengar keributan yang kedua adik Jingga keluarkan.
"Taruh dulu sepeda motor kalian di tempat parkir. Kita naik mobilku aja."

Jingga benar-benar tercengang. Bagaimana mungkin Langit sekasual itu mengajak adik-adiknya makan? Belum lagi, ketiga lelaki itu meninggalkan dia berdiri sendirian di tempatnya?

###

Hai,
Udah lama nggak ketemu kalian, ya?
Gimana kabarnya?
Semoga kalian enjoy sama cerita baru ini ya...

Charming BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang