Perayaan tahun baru telah usai sekitar sejam yang lalu. Jingga, Sadam dan Jojo memutuskan untuk melanjutkan pesta di dalam rumah sementara Langit masih dibelakang, mengurus sesuatu yang penting mengenai perusahaannya.
Ya, meski sedang 'libur' toh lelaki itu tidak bisa benar-benar lepas dari pekerjaan. Jingga yang awalnya tidak terlalu peduli, pada akhirnya menghampiri lelaki itu juga.
"Tentu, Pak Lukito. Saya akan sangat menantikannya. Selamat Tahun Baru!" Langit mengatakan hal itu sambil tersenyum ramah seolah mereka sedang bertatap muka. Namun begitu telepon mati, suara helaan napas lelah menyapa telinga Jingga.
Kemudian Jingga melihat Langit termenung menatap kekosongan halaman belakang rumah neneknya. Angin yang berhembus membuat Jingga sadar akan tujuannya keluar dari rumah. Berdeham sedikit untuk menarik perhatian Langit, perempuan itu mendekat pelan-pelan.
"Apa urusan bapak sudah selesai? Ini sudah malam dan udara mulai dingin. Mungkin bapak mau wedang jahe sambil duduk bareng Sadam dan Jojo?" ucap Jingga.
Langit yang melihatnya lantas tersenyum. "Aku sedang menunggu laporan terakhir dari sekretarisku. Kalian bisa tidur lebih dulu. Seperti katamu, ini sudah malam sekali," sahutnya.
Jingga berpikir sebentar lalu mengangguk setuju. Perempuan itu kembali masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Langit seorang diri. Di ruang tengah, Sadam dan Jojo tampak berbaring di atas karpet tebal sambil bermain ponsel. Jojo memakai ponsel Jingga, sementara Sadam pakai ponselnya sendiri. Melihat berapa kali Jojo sudah menguap, Jingga perkirakan acara main bareng mereka akan segera berakhir.
"Kalian kalau udah ngantuk, tidur di kamar sana! Jangan disitu," ucap Jingga yang sibuk didapur yang menyatu dengan ruang tengah. Dia ingin membuatkan sesuatu untuk Langit sebelum ke kamar inapnya.
"Bentar lagi," jawab Sadam sekenanya.
Jingga memutar bola mata dan tidak mengatakan apapun lagi. Perempuan itu memilih untuk memasak air panas dan membuat wedang jahe yang tadi dia tawarkan pada Langit.
Meskipun tidak yakin kalau Langit suka rempah-rempah, tapi Jingga memutuskan kalau itu adalah pilihan terbaik. Bisa saja dia membuatkan kopi, tapi itu akan mengganggu jam tidur Langit. Teh dan cokelat panas juga bukan sesuatu yang akan dipilih Jingga jika melihat seberapa sibuk Langit di malam tahun baru.
Perempuan itu kembali ke halaman belakang ketika minuman yang dia buat sudah siap. Langit sedang berada di telepon lagi tapi kedengarannya tidak sedang membahas bisnis.
"Aku nggak ingin menyulut kemarahan mama, pa. Kayaknya aku nggak usah datang ... " lelaki itu terdengar ragu akan keputusannya sendiri.
"Aku tau," katanya lagi, kini terdengar pahit. "Itu lah yang masih bikin aku bingung sama sikap mama. Lagian, kayaknya aku juga nggak sanggup denger omongan orang-orang."
Kaki Jingga berpijak goyah. Dia merasa tidak seharusnya dia dengar pembicaraan itu. Maka, dia pun mundur pelan-pelan. Namun ternyata hubungan itu tidak berlangsung lama. Langit mengucapkan selama tahun baru dengan nada getir sekali lagi kemudian sambungan terputus.
Jingga kembali bimbang. Dia merasa tidak enak sudah mendengar obrolan Langit dengan orangtuanya, tapi kesan muram yang ada dalam lelaki itu juga membuat Jingga merasa bersimpati. Maka dari itu Jingga kembali membuat suara yang memberi tau Langit tentang kedatangannya.
"Kamu belum tidur?" tanya Langit, terkejut. "Sudah lama disitu?"
"Belum," jawab Jingga tanpa menatap mata Langit. Perempuan itu meletakkan cangkir yang dibawanya ke meja kecil yang ada di samping Langit.
"Ah, terimakasih." Langit langsung menyeruput sedikit jahe yang dibuat Jingga. Tangannya yang lain masih memegang ponsel erat-erat.
"Harusnya saya yang berterimakasih ke bapak. Bapak sudah bantu banyak sekali, bahkan dititik dimana saya mau berlutut pada anda." Jawaban Jingga membuat Langit tersedak.
"Apa?" gumamnya tidak percaya, bahkan tampak tidak suka.
"Boleh saya duduk?" tanya Jingga, menunjuk kursi yang berseberangan dengan Langit.
"Tentu, tapi apa maksud ucapanmu tadi?" sahut Langit, masih tampak tersinggung.
"Sikap ramah bapak ke adik-adik saya, tentang kasus Sadam terutama. Dan tidak lupa acara tahun baru ini. Saya sampai tidak tau bagaimana harus membalasnya?" kata Jingga, menjelaskan.
Langit menatapnya jengkel cukup lama sebelum memijit pangkal hidungnya sendiri. Jingga ikut mengerutkan kening, bertanya-tanya mengapa Langit tampak frustasi.
"Memang benar, terkadang memahami wanita lebih sulit daripada menjabarkan pada anak kecil kalau Harry Potter itu tidak nyata," komentar Langit dengan nada rendah.
"Maksud anda?" mata Jingga menyipit.
"Boleh minta tolong keluarin isi pikiranmu sekarang? Kenapa kamu harus berterimakasih? Bahkan sampai mau berlutut segala? Alasan yang kamu pikir bikin aku mau bantu kalian?" Oke. Kali ini Jingga merasa kalau Langit tersinggung dengan ucapannya. Kata-kata dan nada tajam itu baru pertama kali Jingga dengar.
"Bu-bukannya bapak mau menikahi saya?" gumam Jingga ragu-ragu.
"Ya. Terus?"
"Bapak sedang PDKT dengan adik-adik saya, kan? Mengambil simpati Sadam dan Jojo supaya mereka mau ... membantu bapak untuk mendapatkan hati saya?" Bibir Langit berkedut-kedut menahan tawa begitu mendengar jawaban Jingga. Lelaki itu kemudian menggelengkan kepala beberapa kali.
"Kamu sudah nggak percaya kalau orang baik atau lelaki baik itu ada, ya?" tanya Langit lagi yang kali ini dijawab dengan ekspresi jijik Jingga yang tidak bisa ditahannya.
"Maksudnya, bapak melakukan itu karena bapak orang baik?" Jingga tidak bermaksud mencemooh, tapi mana ada orang baik yang menglaim kalau mereka adalah orang baik?
Langit tertawa. "Tidak, aku hanya sedang berusaha menjadi orang baik," sahutnya terdengar jujur.
"Untuk?"
"Supaya bisa dipercaya banyak orang, terutama kamu," jawabnya. "Waktu dirapat aku sudah pernah bilang, dan barangkali kamu juga dengar. Kepercayaan itu adalah hal terpenting dalam menjalin hubungan. Apapun bentuk hubungan itu."
"Saya setuju," sahut Jingga tiba-tiba teringat satu hal. Nada suaranya berubah dingin. "Saya pikir tidak ada lagi yang perlu di bicarakan? Saya pamit undur diri. Lebih baik bapak juga lekas tidur."
Tapi tangan Jingga ditahan oleh Langit saat dia bergerak dari kursinya. Lelaki itu tersenyum ragu sebelum mengeluarkan satu kotak kecil berwarna merah.
"Walau aku jarang menunjukkan niatku langsung padamu, tapi aku nggak main-main," kata Langit. Lelaki itu menyerahkan kotak tersebut ke tangan Jingga. "Tolong kamu pikirkan. Kalau sudah memutuskan, pakai cincin itu sebagai pertanda. Aku tau kamu nggak akan nyaman kalau kita bareng-bareng di depan pegawai lain, tapi bisa sedikit saja jaga jarak dari Krisna?"
"Hah?" Jingga mendengus kemudian menyentakkan tangannya dari genggaman Langit. Perempuan itu juga menyerahkan kembali kotak berisi cincin darinya. "Bapak kayaknya salah paham, deh! Bukannya kita barusan bahas tentang sebuah kepercayaan yang jadi landasan sebuah hubungan, ya? Terus bapak kasih saya begituan dengan kata-kata kayak gitu? Maksudnya apa, ya? Bapak aja nggak ada jelasin alasan bapak ngelamar saya, padahal kita baru pertama kali kenal. Bapak juga nggak ada bilang apa-apa abis pelukan sama cewek lain. Ngapain bapak nyuruh saya menjauh dari Krisna? Emangnya kami salah apa?"
Awalnya Langit tidak mengerti mengapa lamaran keduanya justru membuat Jingga tersinggung dan marah. Namun, setelah menelaah kembali hujan kata-kata dari perempuan itu dia mulai bisa mengerti.
"Bukannya kamu dan Krisna sedang dekat? Aku liat kalian berduaan di kantin waktu lalu?" kata Langit.
"Emang kalau berduaan kenapa?" balas Jingga sebal. "Kan bukan urusan bapak juga. Udahlah. Udah, oke? Nggak usah ngebahas ini lagi. Mending bapak cari orang yang bener-bener bapak cintai untuk dijadiin isteri." Jingga bertambah gusar dan ingin cepat-cepat pergi dari hadapan Langit. Entah kemana sikap sopan santunnya pergi malam itu. Jingga akan menyesalinya besok pagi saja.
Dia muak dengan pembicaraan mengenai pernikahan atau apapun itu. Dia masih belum bisa menerima, terlebih Langit masih tampak abu-abu di matanya.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
Charming Boss
General FictionSeperti cerita yang umumnya muncul dalam sebuah cerita, kisah pertemuan antara Langit dan Jingga membuat geleng-geleng kepala. Tidak seperti tema Tom and Jerry, Dilan dan Milea atau pun Mr. dan Mrs. Grey, yang membuat para penikmatnya geregetan, cer...