23. Sesuai Lawan Bicara

472 102 37
                                    

Jingga terlambat. Matahari sudah setengah jalan menuju atas kepala saat matanya terbuka. Perempuan itu melompat bangun, tidak mempedulikan Langit yang juga masih terlelap di atas ranjang.

Sial! Dia tidak punya baju untuk dikenakan. Bajunya yang kemarin masih ada di keranjang baju kotor milik Langit. Belum lagi, ponselnya bergetar, menunjukkan Susan tengah berusaha menghubunginya.

"Halo?" Ucap Jingga panik.

"Jingga! Kamu dimana sih? Ini kan kamis! Bisa-bisanya kamu nggak dateng buah breafing pagi!" Susan mengomel garang.

"Aku bangun kesiangan! Gimana dong, San?" Jingga hampir menangis. Belum pernah sekali pun dalam hidupnya berada di situasi itu. Terlambat.

"Buruan masuk!" Dan telepon itu mati.

Jingga kebingungan setengah mati. Tidak bisa berkutik dengan keadaannya dan mulai merutuki keputusannya untuk menginap di apartemen Langit. Ah! Tidak ada jalan lain!

"Mas, bangun Mas! Udah siang ini! Ayo bangun! Tolongin aku!!!" Jingga menggoyang-goyangkan tubuh Langit tanpa perasaan hingga lelaki itu terpaksa membuka mata.

"Apa?" Tanyanya dengan mata setengah terbuka dan suara serak.

"Aku telat!" Ucap Jingga, membuat Langit langsung duduk tegak.

"Hah? Ma-maksudmu aku bakal jadi ayah?" Jingga langsung cemberut.

"Ayah gundulmu peyang!" Umpat Jingga. "Bangun woy! Aku telat masuk kerja! Bukan yang lain!"

Langit mengerjabkan matanya beberapa kali lagu meringis sendiri. Baru sadar kalau tidak mungkin Jingga hamil sementara berciuman saja mereka tidak pernah. Eh, belum pernah.

"Terus, aku harus gimana?" Langit mengusap matanya dengan malas. "Telepon Pak Damar buat kamu?"

"Bukan! Aku nggak bawa baju ganti sebelum ke sini," jawab Jingga setengah merintih.

"Beli aja di bawah. Aku juga nggak ada persedian baju cewek di sini," sahut Langit, menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang lagi.

"Yakin kamu, nyuruh aku keluar pakai baju kayak gini?" Langit mendongak untuk melihat maksud Jingga.

Mungkin karena terlalu lelah atau apa, Langit sama sekali tidak sadar kalau Jingga hanya memakai kemejanya sejak semalam. Lelaki itu menelusuri seluruh tubuh Jingga, dari kepala sampai kaki.

"Bagus," komentar Langit. Jingga kembali cemberut, dan Langit juga bangkit sambil mendesah. "Tunggu sebentar."

Dalam sekali gerak, Langit sudah membungkus tubuhnya dengan mantel panjang. Setelah mencuci muka sekilas, lelaki itu keluar dari apartemen tanpa mempedulikan rambutnya yang acak-acakan atau penampilannya yang kelewat santai.

Sekitar sepuluh menit kemudian Langit menelepon.

"Sekalian daleman juga nggak, sayang?" Tanyanya membuat Jingga langsung salah tingkah.

"Iya," jawab Jingga pendek dan sambil meringis.

"Ukurannya berapa?"

Setelah menjawab pertanyaan Langit sambil menahan malu, Jingga memilih mandi lebih dulu. Sudah pasti dia akan diomeli oleh atasannya hari ini dan Jingga harap Langit cepat kembali.

Langit memang pergi tidak terlalu lama, tapi Jingga kaget dengan banyaknya barang yang dia bawa. Semua serba pakaian perempuan.

"Kok banyak banget?" Protes Jingga.

"Buat persediaan disini juga, kalau kamu mau nginep lagi," jawab Langit enteng. "Buruan siap-siap."

Jingga tidak punya waktu untuk berdebat. Perempuan itu bergegas masuk kembali ke kamar mandi untuk berganti pakaian dan merapikan rambut. Tidak ada yang bisa dia lakukan dengan wajahnya karena Langit juga tidak punya bedak dan lipstik.

"Perlu dianter, nggak?" Tanya Langit saat Jingga sudah keluar kamar mandi dengan setelan dress paling simple yang dibelikan Langit.

"Nggak usah. Kamu juga harus siap-siap kerja, kan?" Tolak Jingga, langsung melesat ke pintu keluar setelah menjawab tawaran Langit. Lelaki itu geleng-geleng kepala, lalu dengan santai masuk ke dalam kamar mandi.

###

Jingga mendapat teguran keras, tentu saja. Tapi mata jeli Susan dan Riri justru membuat Jingga meringis lebih lebar daripada semprotan atasannya. Kedua teman Jingga itu menyadari pakaian asing yang baru kali itu Jingga pakai, bahkan mereka menyadari aroma baju baru yang masih melekat disana.

"Pokoknya, gitulah!" Tukas Jingga saat menanggapi interogasi teman-temannya.

"Katanya nggak ada uang buat ke mall, eh malah pergi sendiri!" Gerutu Riri.

"Aduh! Nggak gitu! Kapan-kapan deh, aku ceritain!" Jawab Jingga pada akhirnya. Untung ada seragam kumal yang masih disimpan untuk saat-saat seperti ini. Susan juga meminjamkan celana cadangannya karena tidak ada lagi yang bisa Jingga pakai.

"Eh-eh! Liat tuh!" Susan bergumam pelan sambil menunjuk seorang perempuan berbaju merah seksi masuk dari pintu utama. Jingga langsung memalingkan muka begitu mengenali Amel.

"Cewek itu lagi? Ngapain sih dia ke sini?" Desis Riri sebal. "Hobi banget godain Pak Langit!" Gerutunya.

"Pacarnya kali, Ri?" Sahut Susan.

"Ih! Nggak mungkin lah! Gila aja kalau Pak Langit suka sama cewek model begitu!" Cemooh Riri dengan mata menyipit sinis. Susah payah Jingga menelan ludah.

"Udah lah! Ayo, nggak usah di gubris! Kita jadi pergi nggak, sih?"

Tidak diragukan lagi, keadatangan Amel memang untuk bertemu Langit. Sudah cukup lama sejak pertemuan terakhir mereka, Jingga masih merasa tidak suka pada perempuan itu.

Jingga ingin menghubungi Langit untuk menanyakan perihal Amel, tapi dia merasa tidak yakin. Apakah sebaiknya dia tanyakan lewat chat? Atau secara langsung? Atau mungkin itu bukan urusan Jingga sama sekali?

Jingga menghela napas panjang, memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas sementara menunggu Sadam menjemput. Langit akan kembali tidur di apartemen, namun Jingga tidak bisa meninggalkan adik-adiknya terlalu lama.

Sungguh mengejutkan ketika ternyata urusan Amel dengan Langit berakhir begitu cepat daripada laju motor Sadam. Suara berdeham dari balik bahu Jingga lah yang membuat perempuan itu akhirnya menyadari keberadaan Amel.

"Ternyata kamu disini? Padahal aku harap bisa ketemu kamu di dalam kantor," Amel tersenyum miring.

"Ada perlu apa, ya?" Jawab Jingga tenang.

"Tidak, hanya ingin tau karena kayaknya Langit ngumpetin kamu di kantornya sendiri? Di devisi apa sih kamu kerja?" Sahut Amel ingin tau.

Jingga pun berbalik badan sambil tersenyum.
"Aku rasa, aku nggak boleh bilang ke kamu kalau Langit sendiri nggak mau kasih tau, kan? Bukannya isteri harus patuh sama suaminya?"

Senyum Amel berubah sinis menanggapi ucapan Jingga.
"Bilang aja kalau kamu cuma tukang bersih-bersih!" Decih Amel, membuat Jingga tertawa kecil.

"Syukurlah kalau begitu! Masih jauh lebih terhormat daripada hanya menjadi selingkuhan suami orang, bukan?" Jingga balas tersenyum culas sementara Amel menatap marah padanya.

"Diem aja kalau nggak tau apa-apa! Nggak usah sok tau!" Bentak Amel.

Jingga nyengir setuju.

"Yep! Diem aja kalau nggak tau apa-apa. Nggak usah sok tau!"

Amel menggertakkan gigi marah, kemudian menatap Jingga dengan sorot menghina.

"Sudah kuduga kalau kamu tuh cuma pura-pura polos didepan Langit! Aslinya pasti busuk juga!" Kata Amel.

"Bukan pura-pura polos," sahut Jingga mengoreksi dengan nada tenang. "Hanya bersikap sesuai lawan bicara. Masa kamu mau diskusi soal hukum negara sama orang gila?"

###

Lebih suka tema cerita apa?

Fantasi

Drama

Horor

Slice of life

Romantis

Angst

(Isi sendiri)

Charming BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang