Hari ini Jingga datang ke kantor Langit, bukan sebagai pegawai atau isteri, tapi sebagai partner kerja. Regina mendandani Jingga seperti wanita kantoran sebelum ini. Mereka berdua sudah selesai membuat proposal yang diminta Langit, tapi Regina tidak bisa ikut datang ke kantor Karena kesibukannya.
Langit sedang pergi ke luar, tapi akan segera kembali, kata Angel yang menunggu meja sekretaris. Jadi, Jingga menunggu di kursi dan menolak saat Angela menyuruhnya menunggu di dalam. Toh, ini salahnya karena tidak membuat janji atau memberi kabar terlebih dulu.
Rencananya, Jingga ingin menyerahkan proposal itu pada Langit saat lelaki itu sudah pulang ke rumah, tapi Regina membuatnya berubah pikiran.
"Kapan Langit mau istirahat kalau kamu kasih dia kerjaan di rumah juga?" Omel Regina waktu itu.
Jingga tersenyum malu, memaki kebodohannya sendiri karena tidak memikirkan hal itu. Yah, dia sedang belajar, tidak apa-apa kan membuat kesalahan?
"Jingga?" Suara Langit membuat perempuan itu mendongak dan berdiri sambil tersenyum. "Kamu ngapain di sini?"
"Bawain yang kamu mau," Sahut Jingga sambil mengangkat amplop cokelat besar di dekapannya.
"Ang, bikinin minum," perintah Langit pada Angel. "Kamu mau apa?" Lelaki itu bertanya pada Jingga.
"Air putih aja," katanya.
"Sama kopi, satu." Langit menambahi.
Setelah itu, Jingga di bawa masuk ke dalam ruangan Langit dan duduk disofa.
"Kenapa nggak kasih kabar kalau mau ke sini?" Tanya Langit, sambil membaca dokumen yang Jingga bawa.
"Nggak apa-apa. Kamu abis darimana?"
"Abis makan siang aja. Kalau tau kamu mau ke sini, kita makan bareng," katanya, membuat Jingga tersenyum.
Kenapa ya, sepertinya memikirkan Jingga adalah hal natural bagi Langit, tapi tidak bagi Jingga. Kebutuhan lelaki itu masih sering tidak terpikirkan olehnya, contoh yang paling sepele adalah waktu istirahat Langit. Jika tadi Regina tidak menegurnya, Jingga pasti masih akan bertindak bodoh.
"Aku udah kenyang, tadi sempet latihan bikin roti sama kue," jawab Jingga menenangkan. "Tadi sempet mau bawa, tapi banyak yang nggak jadi."
Jingga terkekeh kecil, agak merasa bersalah. Setelah melihat tutorial di youtube, Jingga mencoba beberapa resep simple tapi tetap saja, ternyata tidak semudah itu. Beberapa gosong, beberapa belum matang, beberapa lagi rasanya tidak patut di makan.
"Aku mau coba kalau udah jadi," Langit tersenyum mendengar Jingga tertawa.
"Pasti! Tapi, ada yang perlu di perbaiki dari proposalnya, nggak?" Jingga bertanya, baru ingat tujuan utamanya datang ke kantor setelah Angel masuk membawa minuman.
"Regina bantu kamu bikin ini?" Tanya Langit.
"Iya."
"Kalau gitu aku mau kasih saran, boleh?"
"Boleh, dong!"
"Buat menu, gimana kalau di olah lagi? Jangan cuma roti. Walaupun kayak yang kamu bilang dulu, tapi roti tuh udah di cap mahal, apalagi kita jualan di hotel besar. Jadi, biar keliatan murah, mending ditambahin camilan-camilan lain kayak pisang goreng, gitu? Dan rotinya jangan cuma yang one bite aja, tapi harus siap kalau ada yang minta ukuran besar. Jadi toko kita bisa untuk semua kalangan. Menu minumannya aku udah setuju, cocok sama konsumen yang kamu sasar," ucap Langit panjang lebar dan penuh wibawa.
Jingga yang mendengarkan penjelasannya pun langsung mengangguk sebagai respon, tidak sadar bahwa suasana ruangan sudah berganti menjadi resmi karena sikap Langit. Perempuan itu juga senang karena penjelasan Langit mudah untuk dia mengerti.
"Ah, biaya gedung bisa dapet diskon, nggak? Regina kan juga ikut di proyek ini, jadi harusnya bisa kena potongan harga. Walaupun aku nggak masalah keluarin uang segitu, tapi kamu juga harus belajar hal kayak gini, kan?" Langit tersenyum, terlalu jauh untuk mengacak rambut Jingga yang sempat menaikan satu alis beberapa saat tadi.
###
"Mas Krisna!" Jingga memanggil saat melihat Krisna menyeberang di hall kantor. Lelaki yang dipanggil pun menoleh, tersenyum dan melambai padanya.
"Ngapain kamu di sini?" Tanya Krisna.
"Lagi ada kerjaan. Kamu masih sibuk?" Balas Jingga.
"Nggak, ini udah mau pulang. Kenapa?" Sahut Krisna.
"Ngobrol dulu, boleh? Di angkringan depan?"
Setelah menunggu beberapa menit, Jingga dan Krisna duduk di kursi panjang yang tersedia di angkringan. Beberapa pegawai kantor dan masyarakat berlalu lalang beberapa kali.
"Gimana kabarnya kamu, Jingga? Keliatan bahagia banget, ya?" Ucap Krisna, tersenyum pada teman yang sudah cukup lama tidak dia lihat.
"Ha ha! Yah, bisa dibilang begitu," sahut Jingga. "Berkat kamu juga, nih! Kalau kamu nggak kasih masukan-masukan, kayaknya aku masih tetap separah dulu."
"Aku ikut seneng, kok. Kamu juga pantes dapetin itu," kata Krisna yang di balas senyum lebar oleh Jingga. "Wah, tumben. Biasanya kamu langsung bilang, 'enggak'"
Jingga pun tertawa.
"Iya, ya? Sampai beberapa hari kemarin aku masih kayak gitu, ya? Rendahin diri sendiri," katanya."Untung sekarang enggak," timpal Krisna cepat dan Jingga mengangguk setuju.
"Walau masih banyak kekurangan, seenggaknya aku nggak takut lagi," gumam Jingga. "Rasanya selega itu, bebas dari belenggu diri sendiri."
"Bagus, deh! Untung Pak Langit bisa bantu kamu lebih baik daripada aku," timpal Krisna.
"Kalau nggak gara-gara kamu, aku juga nggak bakal terima Pak Langit!" Jingga tertawa. "Gegara ucapanmu, aku jadi beraniin diri, kan? Walaupun awalnya lebih cocok disebut memaksakan diri."
"Kadang-kadang, kita cuma butuh dorongan kecil buat maju," sahut Krisna tenang.
"Dan butuh seseorang yang kita percaya siap nangkap kalau kita jatuh," sambung Jingga sendu.
"Oh, iya, bulan depan aku wisuda. Kamu mau dateng, Jingga?" Tanya Krisna.
"Boleh? Nanti aku bawain karangan bunga yang besar buat kamu!" Kata Jingga bersemangat.
"Kamu nggak ketemu Riri sama Susan?"
"Kayaknya enggak, deh. Aku harus ngerjain ini dulu." Jingga menunjuk amplop cokelat yang dibawanya pada Krisna.
"Kamu sekarang kerja dimana, sih? Kok bawa itu ke sini?" Tanya Krisna ingin tau.
"Aku lagi mau buka usaha, dan ini proposal buat diajuin ke Pak Langit," jawab Jingga.
"Oh, ya? Usaha apa?"
"Cafe kecil-kecilan, sih. Dateng aja kalau besok udah dibuka, tapi ini baru nyusun rincian, jadi belum ada persiapan apa-apa," Jingga nyengir.
"Nggak apa-apa, kalau udah buka pasti aku ke sana. Oh, iya, bulan depan aku juga terakhir kerja disini, mau cari yang lebih bagus soalnya," ucap Krisna tanpa diduga.
"Wah! Udah dapet yang baru?" Krisna menggelengkan kepala.
"Masih cari," katanya.
"Nanti coba aku bantu deh! Siapa tau kenalanku ada yang nyari sarjana Psikologi," Jingga mencoba mencari orang-orang penting diingatannya. Orang-orang itu adalah pelanggan tempatnya bekerja dulu, dan cukup dekat dengannya hingga Jingga mendapat nomor pribadi mereka.
"Nggak usah repot-repot. Kamu kan juga lagi sibuk buka usaha, nanti bisa keganggu kalau ditunda-tunda. Tenang aja, aku juga punya beberapa tempat yang mau dituju, kok," kata Krisna sambil tersenyum menenangkan.
###
Eh, kalian mau visual Krisna sama Regina, nggak? Hehe
Atau punya visual versi kalian sendiri? Kasih tau, dong!
KAMU SEDANG MEMBACA
Charming Boss
General FictionSeperti cerita yang umumnya muncul dalam sebuah cerita, kisah pertemuan antara Langit dan Jingga membuat geleng-geleng kepala. Tidak seperti tema Tom and Jerry, Dilan dan Milea atau pun Mr. dan Mrs. Grey, yang membuat para penikmatnya geregetan, cer...