Jingga merasa posisi mereka sekarang sangat ganjil jika mereka memang sedang berbicara. Masih di sofa yang sama, Jingga duduk bersila membelakangi Langit sedangkan tv sudah sepenuhnya terabaikan. Bukan berarti dia sedang di pangku, tapi Jingga memandang tembok sementara Langit menghadapi punggungnya.
"Kami masih inget yang aku ceritain sebelum kita nikah? Waktu kita pergi ke pesta ulang tahun perusahaan papa?" Tanya Langit. Jingga berusaha mengingat-ingat, tapi maksud cerita Langit saat itu pun tidak terlalu jelas.
"Iya," jawab Jingga singkat.
"Iya, aku sebrengsek itu dulu. Kamu pasti nggak bisa bayangin ... Apa-apa aja yang udah aku buat, berapa kali, ke siapa aja?" Suara Langit tergagap, dia tidak bisa bercerita secara gamblang pada Jingga.
Kesunyian panjang. Suasana berat itu tidak ingin Jingga pecah, karena dia ingin memberi waktu pada Langit. Jingga paham, menceritakan masa kelam adalah hal yang sulit dilakukan. Butuh waktu, butuh kesabaran, dan butuh pengertian.
"Alasan aku mau temenan sama mereka, awalnya karena aku merasa senasib," ucap Langit memecah keheningan itu. "Walaupun aku tau yang aku lakuin salah, tapi aku ngerasa punya temen yang ngerti gimana struggle-nya aku waktu itu."
Jingga langsung paham. Dia ingat bagaimana beratnya saat dia ditinggalkan bersama kedua adik dan utang yang begitu banyak. Tidak ada yang mengulurkan tangan. Dia harus berjuang sendirian, tapi setidaknya dia punya tempat untuk pulang. Jojo dan Sadam, tanpa mereka Jingga tidak tau apakah dia akan sama seperti sekarang.
Langit tidak punya tempat pulang, tidak punya tangan untuk digenggam, tidak punya seseorang yang harus di perjuangkan. Dimasa sulit yang harus dia hadapi sendiri, tanpa pendamping atau satu orang pun yang peduli.
"Aku nggak ngerasa seneng atau lega sama mereka, tapi nggak ada yang lain. Saking capeknya debat sama diri sendiri, saking capeknya berusaha untuk diterima, diakuin, dipeduliin atau apapun itu, aku udah nggak peduli lagi. Nggak peduli sama orang lain dan bahkan diriku sendiri. Nggak sekali-dua kali aku mikir, 'ah, apa aku harus mati dulu supaya orang-orang merhatiin aku? Apa bakal ada yang sedih kalau aku nggak ada?' Dan setiap mikirin itu, aku ngerasa lebih hancur lagi" suara Langit bergetar, dan Jingga berusaha untuk tetap diam.
Ya, mereka berdua pernah berteriak minta tolong untuk diselamatkan pada orang-orang sekitar, tapi tidak ada yang peduli. Mereka berdua pernah sama-sama putus asa walau dengan masalah yang berbeda. Orang-orang yang saat ini iri melihat kehidupan mereka, adalah orang-orang yang dulu membuat Jingga dan Langit iri dengan kehidupannya.
"Aku pikir, itu udah cukup. Aku udah rusak, nggak dianggap sama keluarga sendiri, nggak mungkin ada yang lebih parah, kan? Tapi, nggak lama kemudian aku tau Amel jadi simpenan papa. Dari sekian banyak cewek di dunia ini! Dari sekian banyak pelacur, kenapa mesti Amel? Kenapa bukan orang yang nggak aku kenal? Dari situ aku sadar, emang udah bobrok aja lingkunganku. Udah nggak ada yang sehat! Sinting semua!" Langit memaki marah. "Aku main cewek, make obat, minum, tawuran, trek-trekkan, semuanya aku lakuin biar diperhatiin! Biar ditegur! Bukan malah ngasih list pelacur yang bisa dipake sama papa! Bajingan! Bajingan!!"
Kali ini Jingga bisa mendengar lelaki itu terisak, dan membuatnya ikut menitikkan air mata.
"Kenapa? Kenapa orang-orang disekitarku nggak ada yang peduli? Kenapa nggak ada satu pun yang peduli?!"Langit memeluk Jingga erat, menangis sesunggukan di bahu perempuan itu. Akhirnya menemukan tempat bersandar sejenak, menemukan satu tangan yang bisa diraihnya meskipun rapuh. Tidak apa-apa, dia yang akan menguatkannya. Langit hanya butuh satu orang yang bisa menerimanya dengan tulus seperti Jingga.
Ah, kini Jingga sepenuhnya paham dengan sikap Langit di awal-awal pertemuan mereka. Tentu saja, siapapun tidak akan melepaskan kesempatan yang datang setelah ditunggu sampai putus asa, kan? Tanpa kepastian apakah kesempatan yang sama akan datang kembali? Jika ada, maka orang itulah orang bodoh yang sebenarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Charming Boss
General FictionSeperti cerita yang umumnya muncul dalam sebuah cerita, kisah pertemuan antara Langit dan Jingga membuat geleng-geleng kepala. Tidak seperti tema Tom and Jerry, Dilan dan Milea atau pun Mr. dan Mrs. Grey, yang membuat para penikmatnya geregetan, cer...