Huek
Nafeesha baru sadar setelah dihirupkan minyak angin. Nafeesha termasuk dalam list orang yang membenci segala hal yang berbau dan berasa mint. Demi kerang Nafeesha sungguh membencinya.
Rasa pusing seolah telah terbentur benda keras melanda Nafeesha. Gadis berkulit kuning langsat itu mencengkeram erat kepalanya. Bodohnya ia tidak membawa obat, tapi tidak salah juga. Nafeesha tidak memprediksi kalau dirinya akan jatuh pingsan di pantai.
"Minum dulu," ucap Mbak Rika menyodorkan segelas air putih. Nafeesha langsung meminumnya hingga tandas.
"Mau mbak tutup gordennya?" Tanya Rika dengan aksen jawa begitu kentara.
"Aku kuat kok," ucap Nafeesha usai menggelengkan kepalanya.
"Sering Mbak bilang jangan maksain diri," sindir Mbak Rika.
"Tadi cuma keasyikan sampe lupa waktu."
"Shaa ... Kalaupun begitu, tolong jangan lupa bawa obat dari Kak Regan karena itu penolong utama kamu," pesan Mbak Rika menghela napas.
Mbak Rika adalah ahli psikologi dan Kak Regan adalah ahli psikiater. Mereka sama-sama membangun rumah layaknya rumah sakit bagi penderita trauma, bipolar, sampai phobia yang sudah memasuki tahap serius. Tapi lebih fokus pada rasa trauma dan bipolar berlebih, sebab mereka bisa berteriak atau bertingkah hilang kendali jika sesuatu mengusik perasaan mereka.
Pengurusan seperti Jaiden sebenarnya bisa melakukan perawatan di rumah, namun adanya hubungan kekeluargaan dengan Regan membuat Jaiden bisa mendapatkan kamar khusus di rumah sakit kecil mereka berdua.
Selain itu rumah sakit yang terletak tepat di samping RSJ ini telah mendapatkan izin beroperasi dari pemerintah, tentu sudah bersertifikasi. Jadi tidak heran jika terdapat perawat disini.
"Permisi, Mbak. Kak Regan udah datang belom?" Tanya seseorang berdiri depan pintu.
"Regan belum datang, ada apa?"
"Pasien kamar 37 dari tadi menangis trus, kami butuh dosis obat buat menenangkan." lapornya.
"Udah coba telpon?"
"Iya, tapi gak diangkat."
"Tunggu sebentar, mungkin Regan dalam perjalanan."
"Mungkin juga sih, kalau gitu saya permisi, Mbak." Rika mengangguk kecil sebagai jawaban.
"Mbak aku udah baikan, aku pamit pulang," pamin Nafeesha.
"Yakin, bisa jalankan?" Tanya Rika memastikan.
"Iyalah, aku cuma pusing bukan lumpuh." Nafeesha mengerucutkan bibirnya kesal.
Rika tertawa kecil, "Yaudah kalo gitu, tetap kontrol sebulan sekali. Jangan mentang-mentang dikit lagi sembuh jadi sok sibuk."
"Iya, kalo lupa telpon aja," cengir Nafeesha berhasil mendapatkan tatapan tajam, "hehe... Gak deh, canda doang. Mbak Rika mah baperan, gak kayak Kak Regan."
"Dih bilang aja kamu naksir sama Regan," tebak Rika tepat sasaran.
"Selama janur kuning belum melengkung, apa salahnya mencoba."
"Bahas apa nih?" Celetuk Regan tiba-tiba datang.
"Biasa," jawab Rika mengalihkan.
"Kak, gimana? Udah cinta gak sama Esha?" Tanya Nafeesha kesemsem sendiri.
Regan menggeleng membuat bahu Nafeesha sedikit merosot turun. "Gak tau klo nanti sore."
"Hilih, sok ngikutin Dylan," decak geram Nafeesha. Rika dan Regan tertawa kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orange
Teen FictionJaiden adalah seorang yang sangat membenci kegelapan akibat suatu trauma. Namun sebaliknya, Nafeesha adalah seorang gadis pecinta gelap, ia tidak bisa berada di bawah secercah cahaya sedikitpun. Suatu idapan terbalik menyatukan cemistri mereka. Jaid...