"Akhirnya ada juga waktu kosong buat kamu, maaf yah terlalu lama. Ntah kenapa pasien sekarang makin banyak," sambut Mbak Rika pada Jaiden.
"It's okay, Mbak. Asal dapat hari aku bersyukur banget." Jaiden tersenyum tipis.
"Mbak sudah dengar perkembangan keadaan kamu dari Regan- dan Mbak sangat bersalah mendengarnya."
Mendengar ucapan Mbak Rika membuat Jaiden melipat bibirnya kedalam hingga giginya sendiri berhasil melukai. Tangan Jaiden saling terpaut erat. "I am loser, right!"
"No! It's not your fault, Jaiden. Don't feel guilty on yourself!" Singkap Mbak Rika.
Lantas Jaiden memakin menundukkan kepalanya. "I can't," ucap Jaiden lirih, "bahkan aku seperti tidak punya wajah lagi untuk melihat mereka semua."
"Ayo bercerita dari awal," intuksi Rika.
"Seperti biasa aku selalu pulang sore hari, setelah pelajaran aku cuma diam dalam perpustakaan. Tapi cuma satu pelajaran, Danny sama David nggak muncul. Aku terus coba telepon mereka kan yah, tapi tidak ada jawaban. Jadi aku pikir mereka bolos atau ada sesuatu dalam organisasi."
"Waktu aku keluar perpustakaan-" Jaiden menggaruk tengkuk lehernya.
"Iya, kenapa?"
"Aku ketemu satpam, dia minta tolong mengambil meja kosong di atap." Kaning Jaiden semakin berkerut, matanya terus menatap langit-langit ruangan.
"Lalu?"
Jaiden kembali mengigit bibirnya, matanya memerah menahan rasa sakit pada kepalanya. Desah napas berat keluar dari mulut Jaiden. "Kenapa aku tidak bisa mengingat apapun, Mbak?" Tanya Jaiden gemetar.
"Cukup ceritakan sisa memori yang kamu ingat saja."
"Aku gak tau apa terjadi setelah itu, tapi aku sadar dengan badan yang lemas. Nafeesha ada didepan aku, kami berada dekat tangga, lalu ada suara gemericik aneh hingga pada akhirnya aku kembali melihat ledakan besar sama seperti waktu itu."
"Aku terbangun di rumah sakit dan gak bisa lihat apa-apa untuk beberapa jam, semua orang berusaha menenangkan aku. Meski hanya melihat warna hitam, aku seakan bisa melihat raut wajah mereka tampak kecewa."
Rika mendengar cerita Jaiden secara seksama, mengambil setiap kesimpulan dari kalimat yang terucap dari mulut pemuda di depannya. Menganggukkan kepala dan mencatat bagian penting dari cerita Jaiden.
"Lantas, apa yang membawa kamu kembali ke ruang psikologi?"
"Emosi."
"Aku tidak bisa mengendalikan emosi sejak kejadian malam itu di kampus," lontar Jaiden.
"Aku tidak bisa mengendalikan diri saat emosi ini tiba-tiba datang, bahkan hal sepele saja membuat emosiku naik. Tadi pagi David memberikan saran, tapi emosi aku tiba-tiba tersulut sampai aku memukulnya dengan keras. Aku merasa aneh sama diri aku sendiri," sambut Jaiden.
"Bagaimana menurut Mbak?" Tanya Jaiden kemudian.
"IED atau Intermittent Explosive Disorder, kondisi ini biasanya ditandai dengan ledakan amarah yang tidak disengaja, direncanakan, tidak beralasan, dan cenderung mudah terjadi bagi pengidapnya."
"Penyebab gangguan tersebut terjadi ada banyak, tetapi paling biasa terjadi karena faktor genetik, sistem otak, gairah, kekangan, faktor keluarga, dan paling memungkinkan adalah karena faktor emosi sendiri."
"Dari cerita kamu, Mbak bisa menyimpulkan bahka ledakan amarah berulangkali yang kamu alami itu berasal dari kekangan dan emosi."
"Kejadian minggu lalu membuat kamu merasa bersalah akan perasaan orang sekitar kamu, kamu terlalu meyakinkan diri bahwa mereka kecewa dengan kamu padahal tidak seperti itu bukan?" Jaiden hanya terdiam, bahkan mengangguk pun tidak ia lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Orange
Teen FictionJaiden adalah seorang yang sangat membenci kegelapan akibat suatu trauma. Namun sebaliknya, Nafeesha adalah seorang gadis pecinta gelap, ia tidak bisa berada di bawah secercah cahaya sedikitpun. Suatu idapan terbalik menyatukan cemistri mereka. Jaid...