07. Paparazi

46 13 3
                                    

Jaiden masuk tergesa-gesa dalam sebuah restoran. Di luar langit mulai gelap, azan Maghrib pun mulai terdengar. Lagi pula Annisa ada-ada saja, sudah tau anaknya belum pulih malah diajak keluar. Jaiden masih berpakaian rapi, berhubung tadi adalah acara lamaran Regan tentu ia merasa asik mengobrol dengan para sepupunya hingga lupa akan agenda Annisa sore ini.

Jaiden bernapas lega melihat lambaian tangan sang bunda. Melihat Jaiden semakin mendekat Annisa tersenyum lembut.

"Jeng, ini anak aku. Namanya Jaiden," ucap Annisa pada Arlin, mama Nafeesha.

"Wahh ... Kok bisa seganteng ini?" Decak kagum Arlin geleng kepala. Jaiden hanya membalasnya dengan senyuman, ia masih bingung melihat orang di depannya.

"Ini mamanya Nafeesha, kamu belum tahu 'kan? Makanya bunda ajak," lontar Annisa.

Mendengar itu Jaiden tergerak untuk menyalami Arlin, ia membungkuk pelan membuat surai berwarna abu itu ikut berjatuhan. Nara yang sedari tadi hanya menatap cengo wajah Jaiden kini cegukan. Aroma maskulin terhirup segar oleh hidungnya.

Tak kunjung mengalihkan perhatian, Nara seperti orang linglung membuang muka, dia tertangkap basah. Pesona Jaiden begitu memikat, rasanya Nara ingin terus menatap wajah tampan nan polos itu.

"Dek, minum dulu," pinta Arlin mengelus lembut rambut Nara.

"Oh my god! Jantung gua," jerit Nara dalam hati.

"Esha gak ikut tante?" Tanya Jaiden.

"Nggak, katanya lagi malas gerak," jawab Arlin.

"Kalau mama bilang mau ketemuan bareng tante Annisa pasti kakak ikut," papar Nara usai menahan napas agar cegukannya berhenti.

Mereka bertiga tertawa menanggapi.

"Aku dengar Esha punya rasa traumatik, itu sejak kapan. Aku lupa nanya waktu itu," ujar Annisa memegang gelas minumannya pertanda ia telah selesai makan.

"Sebenarnya itu udah bawaan dari lahir, cuman dari kecil Esha dilatih lebih awal supaya dia bisa terbiasa. Nah pas gudang petasan kebakaran kedua kalinya Esha ada di sana. Karena malam itu mungkin ledakan petasan terjadi berulang kali, jadi retina matanya jadi kaget dan langsung terkirim ke sel otak."

"Kata dokter sih gitu," sambung Arlin.

"Ternyata Esha salah satu korban juga," seru Annisa miris.

Arlin mengangguk pelan. "Mau gimana lagi itu udah takdir, Jeng."

Menaruh dagu di atas tangan, hanya itu yang Jaiden perbuat karena selanjutnya perbincangan mereka sungguh membosankan. Jaiden ingin pulang, namun di luar sana langit telah berubah menjadi hitam, hanya cahaya lampu saja yang menerangi. Melihat seorang pelayan lewat Jaiden pun tanpa segan meminta selembar kertas untuk dimainkan.

Bukannya selembar pelayan itu malah sukarela memberikan beberapa lembar kertas, bahkan dengan baik hatinya ia juga meminjam spidol. Nara yang sedari tadi tidak berhenti menatap Jaiden mulai berinisiatif untuk mengambil gambar secara diam-diam. Lumayan bisa dipamerkan.

 Lumayan bisa dipamerkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
OrangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang