06. Janji

39 13 1
                                    

"Gimana masih takut?" Tanya Nafeesha duduk di tepi.

"Lo dari tadi di sini?" Tanya Jaiden balik.

"Hmm ... Dari jam 5."

Itulah yang mereka omongkan dari semalam, kembali bertemu di pantai. Jaiden tentu menyetujui, ia senang berada di tepi pantai, karena ia belum sepenuhnya sadar.

"Apa lo gak dingin paka baju tipis kayak gitu? Gue aja yang make jaket masih merasa dingin," seru Jaiden melirik sinis.

"Dingin, tapi gimana lagi gue suka."

Jawaban Nafeesha membuat Jaiden berpikir, apakah Nafeesha semacam keturunan Elsa? Sehingga dapat menahan hawa dingin. Melihat Jaiden terdiam, Nafeesha mengulas senyum tipis.

"Kenapa? Lo mikir yah," tebak Nafeesha.

"Buang waktu," sungut Jaiden melepaskan jaketnya dan memberikannya kepada Nafeesha.

"Tadi lo bilang dingin, udah lo pake aja. Gue udah terbiasa kena angin malam," ucap Nafeesha memberikan jaket itu kembali.

"Lo cewek, daya tahan mental kita beda. Gue juga bisa nahan dingin lagian bentar lagi matahari naik, lo aja yang pake," tangkis Jaiden.

Melihat raut wajah Nafeesha linglung Jaiden menarik kembali jaketnya dan memasangkan di bahu Nafeesha. Akibat tindakan Jaiden sendiri, akhirnya ia sadar posisi mereka cukup dekat. Dengan perasaan canggung Jaiden kembali ke posisi semula seraya berdehem keras menetralisir rasa gugup.

"Wah ... Jaiden bisa romantis juga ternyata," goda Nafeesha menepuk kepala Jaiden meski harus sedikit tegak, melihat postur tinggi mereka cukup jauh.

"Apaan sih! Biasa aja kali. Kek gak pernah aja lo."

"Emang gak pernah 'kan teman gue sekarang udah pada sibuk. Jadi kita jarang ada interaksi lagi."

"Jay!" Panggil Nafeesha yang hanya dijawab singkat oleh Jaiden.

"Rasanya orang kuliah gimana? Udah bebas yah?" Tanya Nafeesha menatap langit berangan-angan bisa segera sembuh dan menjalankan rutinitas seperti gadis-gadis sebayanya.

Jaiden menoleh menatap Nafeesha lekat, ia tak menjawab melainkan menghela napas. Ia tau betul bagaimana rasanya ingin melakukan sesuatu. Namun, terhalang. Itu jugalah yang menjadi masalah terbesarnya. Jaiden juga ingin kembali merasakan dunia malam, seperti balapan, bermain ps, hingga nongkrong hingga pagi. Mengingat kondisinya yang sudah lumayan membuat Jaiden sedikit lega, tunggulah sebentar lagi.

"Takdir kadangkali bertentangan dengan keinginan. Padahal dari duduk di bangku SMP gue paling menantikan masa kuliah, di mana gue bisa pergi belajar menggunakan pakaian bebas tanpa terikat peraturan sekolah untuk memakai seragam khusus," ucap Nafeesha tanpa menatap Jaiden, seolah ia berbicara dengan rembulan.

Nafeesha merebahkan dirinya di pasir putih, tidak masalah juga karena bukan bajunya yang kotor, melainkan hanya jaket Jaiden.

"Keinginan lo apa?" Tanya Nafeesha melirik pundak Jaiden.

"Gue mau kembali seperti dulu," lontar Jaiden ikut berbaring di sebelah Nafeesha.

Surai berwarna perak itu telah menampakkan jidat Jaiden sebab terkena angin. Hal itu membuat Nafeesha terpaku menatap pahatan tuhan. Bibir tipis, hidung mancung dan mungil, alis cukup tebal, dan mata yang bersinar di bawah rembulan. Tanpa sadar Nafeesha berdecak kagum, beruntung saat itu ada suara anak burung yang menyamar suaranya hingga Jaiden tidak menyadarinya.

"Gue gak pernah menyalahkan takdir, ledakan yang membuat gue takut terhadap gelap mungkin sudah tercatat lebih dulu. Tuhan yang membuat skenario hidup dan gue hanya dapat melakukan peranan sesuai apa yang ia tulis."

"Takdir! Gue gak mempermasalahkan itu juga. Cuma gue hanya berharap semoga tulisan takdir gue kedepannya menjadi baik." Nafeesha ikut melontarkan pendapat, matanya masih menatap wajah Jaiden dari samping.

"Jaiden!" Panggil Nafeesha lagi, "janji yah lo akan selalu menjadi teman gue," ucap Nafeesha bersungguh-sungguh membuat Jaiden ikut menoleh ke arahnya hingga membuat mereka melakukan kontak mata beberapa detik.

"Kenapa lo mau mengikat gue dengan janji?"

"Gue merasa nyaman dengan lo, mungkin karena kita memiliki kesamaan. Cuma gue lebih cocok dengan sunrise dan lo lebih cocok dengan Sunset," jawab Nafeesha jujur.

"Gue gak mau, gue gak pintar menepati janji," tolak Jaiden langsung, sebab ia merasakan hal yang berbeda.

Nafeesha tersenyum kecut. "Itu berarti lo akan pergi meninggalkan gue kembali sama seperti sebelum gue mengenal lo."

"Kita bertemu karena takdir, gue gak menampik itu," balas Jaiden menatap lurus, "bukannya waktu itu gue udah bilang mau jadi teman lo?" Tanya Jaiden memastikan.

"Iya lo udah bilang, tapi lo belum berjanji untuk selalu jadi teman gue."

"Dah lah, gue gak mau berjanji."

"Kenapa?" Paksa Nafeesha.

"Gue akan menyesali itu, gue akan pulang dengan perasaan menyesal!" Jawab Jaiden sedikit lirih dan berhasil membuat Nafeesha mengeyitkan dahinya bingung.

Jaiden tertawa kecil. "Lo aja bingung apalagi gue!"

"Gak usah dipikirin, yang penting sekarang kita adalah teman," terang Jaiden mengacak rambut Nafeesha gemas.

Nafeesha tertawa lega, setidaknya Jaiden mengakui dirinya sebagai teman itu sudah lebih dari cukup.

Kini Pantai telah ramai dipenuhi orang yang tengah jogging ataupun bersepeda, selain itu pedagang kaki lima juga mulai bertangan. Hal itu dimanfaatkan Nafeesha untuk makan pagi, lumayan makan banyak tanpa pengetahuan mamanya.

Jaiden ikut saja, tidak mungkin ia meninggalkan Nafeesha. Jika gadis itu pingsan lagi bagaimana? Pedagang bisa saja menjadi amukan massa. Untuk mencegah itu terjadi Jaiden ikut makan bersama Nafeesha.

"Sha, gue udah mau pulang," pamit Jaiden melihat jam tangan.

"Belum terlalu terang, gue masih mau tinggal di sini," terang Nafeesha menyangka Jaiden menyuruhnya pulang.

"Terserah, jangan pingsan lagi kek kemarin," peringat Jaiden.

"Gak akan, gue belum rasakan apa-apa. Lagian lo buru-buru amat sih, temanin gue aja napa," sungut Nafeesha.

"Bukan gak mau, cuma gue mau pulang ke rumah. Nyokap minta di antar ke butik ntar, gue masih mau lanjut tidur dikit," balas Jaiden berterus terang.

"Bunda punya butik?" Tanya Nafeesha menyuapkan mie ke dalam mulutnya. Sedangkan Jaiden menggeleng.

"Cuman ngambil baju doang untuk acara lamaran Bang Sam ntar siang." Usai mengatakan itu Nafeesha meletakan sumpit di atas meja dengan kasar.

"Sam? Sam siapa?"

"Bang Sam sodara gue, Sam ahli psikiater itu," seru Jaiden bertopang dagu, sepertinya ia lupa dengan niatnya ingin pulang.

Nafeesha memelankan kuyahannya. "Kak Sam temannya Mbak Rika?" Tanya Nafeesha memastikan.

Harapan Nafeesha seolah pupus melihat Jaiden mengangguk. Nafeesha menyandarkan punggungnya, nafsu makannya lenyap seketika. Sam ... Akan lamaran, itu berarti ia telah memiliki tambatan hati. Lalu bagaimana dengan hati yang masih berharap ini?

"Esha," panggil Jaiden, "kenapa lo?" Sambungnya.

"Kak Sam udah punya pacar ternyata," gumam Nafeesha terkekeh kecil menertawakan kebodohannya menaruh hati.

"Jangan bilang lo suka sama Bang Sam, astaga! Harusnya kita ketemu lebih awal biar gue bisa buat lo sadar," pungkas Jaiden.

Tak mendengar jawaban, Jaiden berdehem menetralisir rasa malunya berbicara sendiri.

"Keknya lo musti pulang sekarang," saran Jaiden yang diangguki Nafeesha.

"Kok sesak." Nafeesha memukul dadanya hingga menimbulkan bunyi yang mengilukan bagi Jaiden.

"Iya sesak," imbuh Jaiden dengan maksud lain, "udah gak usah dipikirin, lo bisa ketemu dengan orang baru lagi."

–Orange–

OrangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang