27. Jangan Lelah Menunggu

17 6 0
                                    

"Sejak kapan?" Tanya Nafeesha mengintimidasi, namun saat Arthur kembali menatapnya tajam ia menjadi kaku, "maksud gue, kenapa tiba-tiba, gitu."

Arthur menghela napas, sejujurnya ia tidak ingin. Ucapan hati tentu tak terbantahkan, ia ingin Nafeesha tau perasaan sebenarnya. Arthur bukanlah pria yang takut akan mengungkapkan perasaan, hanya saja mencintai seseorang masih terasa asing.

Dirinya yang kaku terhadap semua orang malah langsung luluh pada sesosok wanita lembut dan pengertian seperti Nafeesha.

Bukan jawaban, Arthur menyodorkan dua mal coklat berisi hasil foto X-ray miliknya. Menyadari kode dari Arthur Nafeesha mulai membukanya, meski dalam hati ia sudah tidak sabar mendengar jawaban.

Kerutan tipis nampak di dahi Nafeesha, ia tidak begitu tau cara melihat fotonya. Namun, ia masih bisa menyimpulkan bahwa tulang itu kian membaik, terbukti pada foto satu terdapat retakan dan di foto satunya sudah terlihat baik.

Nafeesha tidak dapat mengontrol raut wajahnya, setelah melihat tanggal Nafeesha menjadi ragu. Bukannya membaik, kenapa tulang Arthur semakin retak?

"Bagaimana bisa gue gak jatuh hati dengan orang yang selama ini menjadi penyemangat gue sembuh, hmm?" Tanya Arthur balik, kali ini tidak ada nada datar. Sebuah nada lembut dan menenangkan.

"Satu-satunya," tekan Arthur.

"Satu-satunya?"

"Hmm... Satu-satunya!"

"Lo punya teman lainnya dan keluarga untuk ngasih lo semangat, kenapa harus gue," cicit Nafeesha.

"Keluarga? Hahaha." Sebuah tawa sumbang membuat Nafeesha merinding, "yah keluarga ... Penyebab gue jatuh."

Nafeesha memilin masuk bibirnya, tampaknya ia salah ambil arah pembicaraan.

"It's okay, nanti atau sekarang lo pasti tau sendiri latarbelakang gue," ucap Arthur.

"Gue boleh nanya?" Setelah mendapat anggukan dari Arthur, Nafeesha melanjutkan, "lo mulai baper setelah kita pura-pura jaid pacar depan Bang Regan ya!" Tuding Nafeesha.

Lagi-lagi Arthur tertawa lepas, sangat lucu melihat wajah Nafeesha. Menggemaskan.

"Jauh sebelum itu, setelah fakultas musik kebakaran, lo datang dan peringati gue untuk beristirahat. Suatu perhatian yang belum pernah gue dapat, sejak saat gue sadar jantung gue  berdetak kencang setiap bertemu lo." Suatu perubahan besar. Nada datar dan dingin, tatapan tajam, dan balasan singkat, semua itu terasa hilang hati ini.

"Lo yakin jantung lo berdetak kencang karena cinta? Bukan karena lihat gue sebagai setan 'kan?" Nafeesha memicingkan matanya curiga.

"Maski manusia lebih menakutkan dari hantu, tapi ucapan hati gak pernah salah, Sha...."

Nafeesha terdiam, dengan gerakan canggung ia memasukkan hasil X-ray Arthur kembali ke dalam map. Nafeesha berusaha mencari objek lain, ia tidak mau menunduk karena itu hanya membuat suasana semakin canggung.

Terdengar helaan napas Arthur dari seberang, bahkan suasana taman rumah sakit yang ramai saja keheningan masih melanda mereka.

"Apa ungkapan gue buat lo gak nyaman?" Tanya Arthur mengintimidasi, membuat Nafeesha kegalapan menggeleng cepat.

"Nggak— nggak kok."

"Maaf ... Gak usah dipikirkan, gue gak maksa buat lo balas perasaan gue. Kita masih bisa menjadi teman," tutur Arthur lembut..

"Lelaki lain ada di samping kamu, tolong peka terhadap lingkungan sekitar kamu."

Nafeesha mendongkak, ucapan Regan tempo hari kembali terulang. Satu pikiran Nafeesha saat ini, apa pria itu adalah Arthur?

OrangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang