5. Dendam

766 101 60
                                    

Mirah duduk memeluk boneka kayu, Ibu membawa satu gaun cantik berenda untuk bonekanya semalam. Mirah tentu bahagia, perhatian kecil ibu sangat berarti. Ibu yang sangat Mirah sayangi, yang juga menyayangi Mirah dengan caranya sendiri.

Beberapa waktu lalu Ibu bilang benci dengan juragan Tomo, Mirah juga membencinya. Juragan Tomo begitu kasar, apalagi kepada bapak. Juragan Tomo begitu licik, malam ini seekor makhluk bertanduk seperti kambing berulang kali berkelebat di sekitar atap.  Mirah tau siapa yang mengirimnya.

Di rumah ini juga banyak makhluk yang tidak berpijak pada tanah, tapi mereka hanya lewat dan tinggal. Makhluk yang tadi malam berbeda, dia memang dikirim untuk mengirimkan bala dan membuat celaka. Seluruh penghuni rumah tidak mungkin tahu, mereka sedang tidur lelap. Tengah malam memang hanya Mirah yang selalu terjaga bersama mbok Rasmi.

Lelaki tua dengan udheng bertengger di kepala itu sangat kurang ajar, beraninya dia mengirimkan peliharaannya kemari. Mungkin dia tidak tahu di sini ada yang bisa dengan mudah menghalau dan mengusirnya.

Tembang durma  mengalun merdu tapi menyayat hati. Mirah berdiri tegak dengan satu kaki, sebelah kakinya yang cacat sedikit terangkat. Boneka kayu itu berada dalam dekapan tangan mungilnya. Tangan kanannya meliuk menari dengan gemulai.

Singgah kala singgah.
Pan suminggah durgakala, sumingkir.
Sing asirah sing asuku,
Sing atan kasat mata.
Sing atenggak, sing awulu, sing abahu.
Kabeh pada sumingkira, Ning telenging jalanidhi.

Bibir Mirah mulai menembang, menyuruh pulang.
Pulanglah segala hal yang buruk, pulanglah.
Pulanglah segala yang jahat, menyingkirlah.
Segala makhluk berkepala, segala makhluk yang berkaki. Yang tak tampak oleh mata, yang memiliki leher. Yang berbulu dan memiliki bau. Kalian semua menyingkirlah, pergilah ke dasar samudera. Bibir Mirah berkomat-kamit

Mirah bisa memandang dengan jelas, lelaki itu berhadapan dengan bejana penuh dupa. Aroma wangi yang disukai oleh para makhluk lembut. Sedikit perbincangan dan tak lama Mirah melihatnya terkapar dengan cairan merah pekat mengalir dari sela bibirnya. Satu masalah sudah selesai.

Mata Mirah terpejam, dia masih juga berdiri dengan satu kaki. Batinnya melihat seorang pria berambut hitam bercampur uban, memakai topi kanvas sedang menaiki motor di sebuah jalan yang sepi. Mirah bisa merasakan gemerisik daun yang tertiup angin, juragan Tomo memacu motornya dengan kencang.

Malam ini memang demikian gelap, seharusnya juragan Tomo berhati-hati. Motor itu ban belakang sudah demikian mulus seperti pipi mbak Nawang. Cukup menampakkan diri di tengah jalan bisa membuat juragan Tomo terkejut dan berusaha menghindar.

Mirah cuma tersenyum simpul ketika motor kehilangan keseimbangan ketika juragan Tomo mengerem mendadak. Ini jalanan sepi, gelap juga licin. Ada hutan lebat di samping kiri dan jurang curam di samping kanan. Harusnya juragan Tomo berhati-hati.

Mbok Rasmi hanya memandangi segala tingkah Ndoro ayunya tanpa berani bertanya. Berdiri dengan satu kaki terangkat adalah kebiasannya ketika dia sedang melakukan sesuatu. Apalagi ditambah dengan tarian kecil, mbok Rasmi tau ada yang sedang tidak beres menimpa keluarga ini. Ndoro ayu Mirah benar pelindung keluarga ini.

" Aku haus mbok," kata Mirah begitu menurunkan sebelah kakinya.

" Iya Ndoro," jawab mbok Rasmi menyodorkan gelas belimbing kesukaan Mirah.

Dengan duduk sangat anggun Mirah minum hingga tetes terakhir, segar dan manis. Mirah suka minuman buatan ibu, tiap hari minum begini Mirah tidak pernah bosan. Setidaknya segelas minumannya bisa memulihkan dirinya setelah bekerja keras barusan.

BungsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang