4. Permintaan

790 109 67
                                    

Bu Ratih menapaki jalur berumput yang basah dengan embun yang turun sejak malam. Aroma tumbuhan juga tanah yang basah begitu segar tercium. Udara begitu bersih tanpa polusi, hanya sesekali aroma bakaran sampah warga tercium sedikit sangit.

Seorang abdi bernama Rum mengikuti saja kemana kaki Ndoro Putri melangkah, pekerjaannya memang seperti itu. Bila sewaktu-waktu. Ndoro Putri membutuhkan bantuan, sang abdi mbak Rum akan dengan sigap membantu.

Hari ini Bu Ratih ingin sambang sawah, kabarnya Tebu di persawahan yang di pinggiran desa panen. Para mandor sudah melapor, hasil panen kali ini juga bagus seperti biasanya. Padahal cuaca juga sempat tidak baik, angin kencang sempat menerpa. Tapi tanaman itu tetap kokoh berdiri tidak ambruk.

Melewati sebuah hamparan kebun kopi yang luas, Pohon kopi tumbuh sedikit menjulang seukuran lebih dari tubuh manusia dewasa. Pepohonan itu berbaris rapi memanjang, butiran kopi masih terbungkus kulit banyak yang berwarna merah cerah hingga pekat kehitaman.

" Pegel Rum?" Tanya Bu Ratih ketika menoleh ke arah abdinya yang mengikutinya di belakang.

" Tidak Ndoro," jawab mbak Rum sopan. Bagi wanita yang hidup di pedesaan berjalan dengan jarak seperti ini adalah sebuah keseharian. Mengikuti Ndoronya ke Sawah berjalan kaki tentu tidak akan membuat Rum kecapekan.

Bu Ratih menyapa seorang ibu-ibu yang sedang memetik kopi, pekerja dari lahan pertanian miliknya terdiri dari para tetangganya saja. Terkadang ada juga beberapa yang berasal dari desa sebelah. Siapa saja asal mereka rajin dan bertanggung jawab Bu Ratih tidak akan keberatan.

Bu Ratih tersenyum puas, sejak mengasuh anak itu keberuntungan demi keberuntungan muncul satu persatu. Mulai dari hasil panen yang selalu melimpah ruah, juga para tengkulak yang berani membeli dengan harga tinggi. Mirah memang anak yang istimewa.

" Ada apa itu Rum?" Tanya Bu Ratih keheranan.

" Tidak tahu Ndoro, tapi itu sepertinya juragan Tomo." jawab mbak Rum sama bingungnya dengan Bu Ratih.

Kening Bu Ratih berkernyit, di ujung sawah ada sedikit keributan. Seorang pria dengan kemeja kotak-kotak menyeringai galak, sebuah topi kanvas menutupi kepalanya yang rambutnya sebagian sudah sedikit memutih.

" Juragan Tomo, ada apa lagi ini?" Gumam Bu Ratih gemas memandang pertikaian di tempat terbuka seperti itu.

" Inggih Ndoro, Juragan Tomo dari kemarin mencari Ndoro Kakung." Lapor sang abdi sopan.

" Nyari kok di sawah, nyari ya di rumah. Orang kok tidak beradab." Bu Ratih

" Inggih Ndoro," jawab mbak Rum mengiyakan ucapan Ndoronya.

Bu Ratih bergegas melanjutkan langkahnya, sebelah tangannya menyingsingkan jariknya agar lebih mudah berjalan. Bu Ratih tidak menyukai keributan, apalagi di ruangan terbuka seperti ini. Sungguh tidak beradab orang itu.

Sebenarnya Bu Ratih tidak seberapa heran juga dengan tingkah juragan Tomo. Dia orang yang mudah marah dan berteriak. Juragan Tomo itu orang yang kasar, dia adalah salah satu tengkulak besar yang tinggal di desa sebelah yang berada di balik bukit.

Juragan Tomo kerap datang ke desa ini, memborong semua hasil pertanian warga. Kadang dengan sistem ijon kadang ya sedapatnya saja. Warga yang tidak memiliki banyak pilihan sering terpaksa menjual hasil tanamnya meski dengan harga sedikit rendah.

Memang beberapa waktu belakangan pak Bram tidak lagi memakai jasa juragan Tomo untuk menyalurkan hasil buminya. Pak Bram bekerja sama dengan seorang pria dari kota sejak Bu Ratih mengenalkannya dengan kenalannya. Mereka menawarkan harga yang lebih baik dan pihak pak Bram cukup terima beres.

BungsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang