2. Mirah.

1.2K 142 37
                                    

Seorang gadis kecil menggeliat di atas ranjang yang empuk dan hangat, dia ingat sekali dia terlelap ketika dari jauh terdengar suara adzan Maghrib. Suara itu memang kadang menganggu telinga, tapi dia bisa apa. Dalam sehari selalu sampai 5x surau di sana itu mengumandangkan.

Mirah tidak paham kenapa mereka berisik sekali. Apa yang mereka lakukan dia benar-benar tidak paham. Suara itu seperti memanggil banyak orang untuk berkumpul, tapi buat apa mereka berkumpul. Terkadang Mirah ingin bertanya, tapi bagaimana caranya, dia saja tidak pernah keluar dari ruangan ini tanpa ada Ibu.

Rasanya Mirah merindukan ibunya, seharian ini dia menunggu. Kehadiran perempuan cantik nan anggun yang berusia 40an tahun. Ibu masih demikian muda, kecantikannya terpancar mempesona. Ibu sepertinya sangat sibuk, menjenguk Mirah saja tidak sempat. Tidak apalah, Mirah bisa menunggu meski harus sedikit sedih.

Mbok Rasmi menuntun Ndoro kecilnya turun dari ranjang. Ini memang sudah lewat dari tengah malam, biasanya memang Mirah terbangun di waktu seperti ini. Mbok Rasmi sudah demikian hafal dengan perangai Ndoro kecilnya ini.

Mbok Rasmi dengan lembut menyisir rambut yang panjang menghitam. Rambut Ndoro kecilnya ini memang sangat indah, dia begitu hitam legam dan halus. Mbok Rasmi gemar menyisir rambut Mirah setiap malam, sambil mengajarkan bagaimana dia nembang.

Berulang kali Mirah bertanya, apakah dia cantik seperti ibu. Tidak ada cermin satu pun di kamar Mirah, kaca hanya yang berada di jendela ruangan itu saja. Kata mbok Rasmi wajah Mirah itu sangat cantik, makanya ibu melarang Mirah keluar. Banyak orang jahat di luar sana, mereka tidak paham tapi tidak ingin paham.

Mirah menatap ke luar jendela melalui jendela kaca dan teralis besi. Mbok Rasmi sudah membuka gorden yang sejak tadi pagi tertutup rapat. Kerlip bintang yang berserak seperti pasir, juga sebuah bulan yang demikian cantik.

" Mbok, apa ibu tadi datang?" Tanya Mirah dengan pandangan terus menengadah ke langit. Dia begitu merindukan ibunya, bagi Mirah bisa memandang wajah ibunya beberapa detik saja itu sudah cukup.

" Ndoro Putri sibuk Ndoro." Jawab mbok Rasmi.

" Padahal aku merindukan ibu," gumam Mirah sedikit sedih. Matanya memandang jauh ke rumah utama, bangunan besar di mana semua orang berkumpul.

Di sana ada Bapak, Mas Bagas, mbak Nawang, Mas Damar dan Mbak Jenar. Tentu saja ibu juga ada di sana. Mirah juga ingin sekali berada di sana, bersama dengan yang lain. Tapi ibu selalu tidak bisa mengijinkan. Mirah bisa apa, dia sangat menyayangi ibunya. Dia akan selalu menurut kepada ibunya.

" Mbok, aku cantik tidak?" Tanya Mirah kepada mbok Rasmi.

" Ndoro Mirah ini cantik, rambutnya lihatlah, hitam legam dan halus." Jawab mbok Rasmi yang kembali menyisir rambut Ndoro kecilnya. dalam hati mbok Rasmi hanya membatin, selalu pertanyaan yang sama.

" Kenapa aku di sembunyikan mbok?" Tanya Mirah sedikit penasaran. Ibu bisa tertawa dan bermain dengan kakak-kakaknya setiap hari. Juga menggendong mbak Jenar seperti itu, rasanya Mirah sedikit iri. " Apa aku nakal?" Tanya Mirah sedikit serius.

Mbok Rasmi menggeleng dan berkata," tidak nduk." Mbok Rasmi memasang sebuah pita cantik di rambut Mirah, kata mbok Rasmi Mirah sekarang terlihat cantik. " Ndoro cilik ndak nakal. Selalu nurut dan pinter, tidak ada yang bilang kamu nakal nduk." Lanjut mbok Rasmi.

Mirah kembali menatap ke luar, gelas belimbing di sampingnya berisi cairan yang utuh tidak tersentuh. Ada banyak pikiran yang mengganggu, tapi sama sekali tidak bisa dia tanyakan kepada siapa pun. Ahhh Mirah ingin bertemu dan bergaul dengan yang lain, Mirah tidak perlu jadi anak istimewa.

" Mbok, Bapak sayang Mirah ndak?" Tanya Mirah untuk yang kesekian kalinya.

" Semua bapak sayang sama anaknya nduk Ndoro ayu." Jawab mbok Rasmi lembut.

" Mirah ingin bertemu bapak Mbok." Mirah mengutarakan keinginannya, berapa lama Mirah tidak memandang wajah sang Bapak. " Mirah kangen Mbok," kata Mirah sedikit sedih.

" Ndoro Kakung masih sibuk nduk, Ndoro Ayu. Tebunya sedang panen, Ndoro Kakung harus juga ngawasi." Jawab mbok Rasmi bijak.

" Panen melimpah ya mbok?" Tanya Mirah serius.

" Panen tahun ini melimpah seperti biasa nduk, Ndoro Ayu. Ndoro Kakung dan Ndoro Putri pasti bahagia." Kata mbok Rasmi menjelaskan situasi.

" Memang sudah seharusnya panen melimpah mbok," jawab Mirah ketus.

" Iya Ndoro," jawab mbok Rasmi menunduk setelah kalimat dengan nada tinggi terlontar dari bibir Mirah. Siapapun jelas tidak ingin membuat Mirah marah, dia kesayangan Ndoro Putri.

Mirah menuruni kursi panjang yang dilapisi dengan beludru halus berwarna merah, dengan tertatih dia berjalan dengan menyeret sebelah kakinya. Malam selalu terasa menyenangkan, hanya ada hening bercampur suara alam yang begitu jujur.

Boneka kayu yang diukir menyerupai tampang seorang bayi yang manis sudah berada dalam dekapan Mirah. Ibu dulu memberikan boneka ini ketika mereka sedang berada di villa kebun teh. Gaun juga selimut boneka ini disulam sendiri oleh ibu, ada nama Mirah di ujung roknya. Meski Mirah tidak bisa membaca tapi dia sudah cukup senang.

Kembali Mirah mendekati jendela, boneka kayu masih juga berada dalam dekapannya. Beberapa kali berkelebat bayangan di luar pagar, juga tawa dan pandangan beberapa pasang mata. Ada yang beraroma busuk, ada juga yang beraroma anyir, tapi ada juga yang beraroma seperti bunga yang dikunyah oleh ibu.

Bibir kecil Mirah mulai nembang, mbok Rasmi yang mengajarkan semuanya. Mbok Rasmi memang pintar nembang, mulai dari tembang Gedhe, tembang tengahan juga tembang cilik atau yang disebut dengan macapat. Mirah suka dengan macapat, entah Mijil, kinanthi, dhandhanggula, sinom, pangkur, durma bahkan asmaradhana sekalipun.

Katetangi tangis sira.
Sira sang para mengkawi.
Kawileting tyas duhkita.
Layanan ing reh wirangi.
Dening upaya sandi.
Sumaruna anerawang.
Mangimur manuhara.
Met pamrih melik pakoleh.
Temah suka ing karsa tanpa wiweka.

Tembang sinom mengalun merdu sekaligus mengerikan membelah malam, udara semakin dingin menusuk kulit. Desir angin kembali menggerakkan dedaunan mencipta gemerisik simponi malam, berdampingan dengan lantunan tembang yang berbunyi dari bibir Mirah sekali lagi.

Dari belakang ruangan yang ditinggali oleh Mirah, cekikikan tawa terdengar di antara suara anjing hutan. Mereka selalu riuh tanpa bisa berhenti, Mirah terkadang bosan mendengar suara mereka. Apalagi yang berada di pohon asam, perempuan yang kakinya tidak pernah menapak tanah itu terlalu banyak bicara.

Bibir Mirah menyunggingkan senyum, dari kejauhan tampak jelas gorden tersibak dan mulai terbuka. Disusul dengan jendela yang deritnya terdengar pelan namun indah di telinga Mirah. Ibu sedang melambaikan tangannya. Mirah tersenyum simpul, dia sedang memandangi ibu yang dia sayangi.

 Mirah tersenyum simpul, dia sedang memandangi ibu yang dia sayangi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BungsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang