15. Rawe Rantas

715 99 29
                                    

Energi dari rembulan sudah mulai terasa sejak hari yang lalu. Hanya tinggal menunggu waktu saja dia akan nampak membulat sempurna. Cahaya remang yang biasa tertelan malam nanti mungkin akan muncul dengan indahnya. Siluet malam yang demikian memang sangat memukau mata.

Hitam dan kelabu pun bisa juga nampak indah. Gemintang berserak di langit mungkin seperti pasir berkilau. Malam yang demikian pasti ditunggu oleh berbagai makhluk yang berada di dunia ini. Dunia mana saja Mirah tidak perlu menyebutkan. Ada banyak alam yang ada dan bersama dengan misterinya masing-masing.

Pujaan Mirah sang makhluk yang tercipta dari api itu, mungkin tahu sesuatu. Dia begitu kuat dan bisa menembus berbagai dimensi. Anak buahnya berlalu lalang mencuri dengar berita dari atas langit, lalu membisikkan kepada telinga anak manusia.

Tapi tentu tidak semua manusia, hanya kepada manusia yang mengaku memiliki indera lain.
Hanya kepada mereka yang mengaku bisa menerawang masa depan. Kepada mereka yang berkabar bahwa dia bisa meramal. Itulah yang terjadi.

Mirah pernah mendengar ucapan seorang pria yang bersorban. Percaya kepada ramalan itu musyrik, ah Mirah tidak sempat menanyakan kepadanya apa itu musyrik. Apa dia sejenis makhluk yang sakti, ataukah apa. Mirah merasa baru memahami secuil makna semesta, dia masih haus.

Jemari kecil yang berkuku panjang itu menelusuri teralis besi yang sudah menunjukkan kelupas karat. Rupanya ada tamu, beberapa anak muda berseragam sekolah seperti yang biasa dikenakan oleh mas Bagas. Mungkin itu semua teman mas Bagas, tentu menyenangkan sekali punya banyak teman.

" Ndoro...." Sapa mbok Rasmi bersimpuh di lantai yang dingin. Mbok Rasmi merasakan energi yang bergelombang sedikit kuat. Ini belum waktunya, Ndoro kecilnya harus menahan diri. Ndoro ayu Ratih tidak akan suka bila Ndoro kecilnya bertingkah.

" Wangi mbok." Jawab Mirah mengendus aroma yang sepertinya hanya dia dan mbok Rasmi paham daripada yang lainnya.

" Belum waktunya Ndoro, bagian Ndoro Mirah sudah disiapkan oleh Pak Gendon." Gumam mbok Rasmi lirih berusaha memperingatkan Ndoro kecilnya. Bukannya apa-apa, mereka tinggal di lingkungan seperti ini dan memang sebaiknya jangan mencari masalah. Baik Mirah dan mbok Rasmi memang sakti, tapi bumi ini luas dan banyak makhluk yang berpijak di atasnya.

" Mirah menyukainya Mbok, wangi. Mirah menyukai wangi ini." Kata Mirah dengan muka berseri dan kedua tangan berpegang erat pada teralis besi. Mirah kembali berkata, "Mirah menginginkannya Mbok."

" Inggih Ndoro, tapi jangan sekarang." Kata mbok Rasmi kembali memperingatkan Ndoro kecilnya itu.

Mirah menyeringai, hidungnya tidak berhenti mengendus layaknya dia sedang mencium wewangian yang membelai indera penciuman. Tapi Mirah harus bersabar, dia akan menikmatinya nanti. Makan besarnya setiap purnama memang sudah cukup baginya. Tapi apa salahnya jika dia menginginkan yang lebih. Tentu Mirah akan memberi imbalan, Mirah paham tidak ada yang percuma di dunia ini.

Mirah menari dengan bahagia, kaki kirinya yang cacat tidak menyurutkan keinginannya untuk kembali meliukkan tubuh. Hatinya benar merasa bahagia, nanti Mirah harus bicara. Tentu harus bicara kepada pria tua yang memakai udeng batik motif Kawung itu. Mirah menginginkannya, sangat menginginkannya.

Mirah menari hingga lembayung mulai tampak menyiratkan sinar hangat. Semua tamu tadi sudah pulang, tapi aroma itu Mirah sudah menghafal dan akan langsung bisa mengenali kapan pun dan di mana pun. Ketika dia sedang menjentikkan jari, mbok Rasmi bertutur agar Mirah segera bersiap. Mereka akan pergi ke villa di kebun teh.

Mirah tersenyum bahagia, dia akan ke sana lagi. Ke tempat yang indah dan sejuk di puncak gunung. Mirah akan bersama dengan ibu hingga puas, sebelum itu Mirah akan bertemu dengan sang Bunda yang selalu datang dengan mengendarai kereta yang bergemerincing.

BungsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang