Seluruh hamparan pekarangan rumah terdapat daun berguguran, daun kering menguning juga daun yang masih menghijau. Para abdi merasakan pekerjaannya bertambah sedikit berat membersihkan semua. Tadi malam ada badai yang sedemikian kencang, beberapa atap rumbia kandang di belakang juga terlepas tersapu angin. Padahal sebelumnya cuaca sedang baik-baik saja, badai itu datang dengan tiba-tiba ketika orang-orang beranjak akan tidur.
Tidak banyak yang terdampak, hanya rumah pak Bramantyo dan juga beberapa rumah kecil di sekitarnya. Mereka berdoa dan pasrah kepada alam, bagi manusia awam, mereka menganggap alam mempunyai siklus tersendiri untuk menjaga keseimbangannya. Tidak banyak yang tahu, gemuruh tadi malam juga digerakkan oleh makhluk lembut. Dia sebagaimana udara, tidak tampak oleh mata biasa.
"Terimakasih sudah dibantu Ngger, kamu masih muda tapi sregep. Sudah sisanya biar simbok yang bersihkan." Kata seorang abdi yang sudah sepuh.
"Tinggal sedikit Mbok, ini agak berat, Saya bantu bawa ke tempat pembakaran sampah." Balas Zaki yang segera memanggul sekarung sampah dedaunan.
"Iya sudah, letakkan saja di situ. Biar simbok yang bakar, kamu bersihkan saja yang belakang deket pohon sawo itu. Tapi ati-ati di situ kadang bau bangke." Kata simbok abdi.
"Bau bangke dari mana Mbok?" tanya Zaki berusaha mengorek.
"Baunya biasanya dari dalam rumah itu, banyak tikusnya mungkin. Makanya sering tercium bau bangke." Jawab simbok.
"Simbok tau di dalam rumah itu ada apa?" tanya Zaki menyelidik lagi.
"Ndak ada yang tahu Ngger, semuanya ndak ada yang boleh masuk. Cuma Ndoro putri sama Ndoro Kakung saja yang masuk. Sudah jangan tanya macem-macem, kalo Ndoro denger kamu bisa dimarahin." Kata simbok memperingatkan.
Zaki mengangguk mengiyakan, dia hanya ingin tahu saja pandangan orang tentang rumah itu. Dari jauh pun Zaki bisa melihat, rumah itu hanya dihuni oleh dua makhluk saja. Rumah itu memang demikian istimewa, padahal di seantero sudut pekarangan, terdapat puluhan makhluk lembut, belum termasuk yang berada di dalam dan yang bersemayam dalam tubuh manusia.
Seandainya Zaki ingin menghitung, di dalam tubuh Ndoro Ratih saja sudah ada belasan makhluk lembut, belum lagi yang terdapat di dalam tubuh pak Bramantyo. Dalam perhiasan yang mereka kenakan pun beberapa makhluk berdiam di sana dengan tenang. Mereka merasakan manfaatnya tanpa tahu mudharatnya, mereka tidak akan tinggal di sana tanpa imbalan. Tidak ada yang baik ketika manusia melakukan perjanjian dengan syetan, dan akan selalu begitu.
Seorang pemuda yang berseragam sekolah menuntun sebuah motor berwarna hitam, secara fisik dia hanya anak sekolah biasa. Tapi di mata batin Zaki, sebuah makhluk dengan tanduk seperti kerbau bersemayam di dekat hatinya. Tugasnya sudah selesai tapi dia lebih memilih tinggal di situ, menghisap saripati makanan yang dikonsumsi oleh pemuda itu. Sepertinya pemuda ini adalah korban ilmu pelet. Zaki memejamkan mata sebentar, pengirimnya adalah teman sekolahnya.
Bisa saja Zaki mengeluarkan makhluk itu, tapi dia di sini untuk tugas yang lebih besar lagi. Makhluk seperti itu juga memiliki telinga, mereka juga mempunyai kesukaan dengan desas-desus dan mengadu domba. Tugas utamanya adalah makhluk yang berada di dalam rumah itu, yang dirantai dengan kunci yang tidak bisa terlihat. Tidak hanya makhluk itu, bila Zaki mulai mengusiknya, bisa saja selusin dukun sakti akan menyerangnya, juga makhluk dengan kereta kencana itu.
Zaki meraih gagang sapu dan menghampiri pekarangan yang di tengahnya terdapat pohon sawo yang rindang, penghuni pohon ini tampaknya tidak seriuh kalau malam hari. Tapi mereka tetap di sini kecuali sedang mencari makan. Ndoro putri kerap menyalakan dupa, para makhluk itu tentu dengan senang hati menghampiri dan mengendus aroma dupa hingga kenyang.
Surah Al-fatihah terdengar meluncur indah dari bibir Zaki, dilantunkan dalam langgam Jawa setelah sebelumnya mengucap basmalah. Makhluk ngampar yang berada di sekitar situ langsung lenyap pergi, tapi makhluk berwujud gadis kecil itu mengintip dari jendela kaca yang buram itu. Gadis kecil itu menggendong boneka kayunya, menatap lurus ke arah Zaki yang pura-pura tidak melihat dan merasakan apapun.
"Suaramu indah, tapi ... hentikan itu!" Perintah makhluk itu.
⚜️⚜️⚜️
Mirah lebih suka berbaring di ranjang di kala matahari menebar sinar. Dia lebih suka cahaya bulan yang temaram dan memberinya energi. Tadi malam dia mengeluarkan banyak energi dengan keluar dari pagar rumah kecil ini, berputar menuju kamar yang memiliki getaran aneh. Mirah terheran, dia itu sangat kuat dan bisa membunuh manusia tanpa menyentuhnya, tapi mendekati manusia itu kenapa demikian susahnya.
Manusia itu, Mirah pernah bertemu ketika dalam perjalanan pulang dari villa di kebun teh. Tapi waktu itu dia sangat berbeda, dia tampak bercahaya dan memakai sebuah sorban. Mirah tidak mungkin salah, dia sangat hafal dengan aroma itu. Aroma yang tidak biasa dia temui, Mirah tidak tahu tapi tidak bisa menanyakan. Itu sudah lama sekali, mengingat Mirah tinggal di keluarga ini sudah belasan tahun. Manusia itu lebih muda dari yang dia lihat sekarang. Manusia bisa menua dengan cepat ternyata.
Mirah terpaksa bangun, ada suara merdu yang berasal dari dekat pohon sawo. Makhluk ngampar sebangsa dengan Mirah sudah menggeliat melarikan diri semua, bahkan mbok Rasmi saja sudah gelisah. Mirah belum pernah mendengar mantera yang demikian indahnya, dia ingin mendengarnya lagi dan lagi. Tubuhnya bisa menahan meski telinganya terasa sakit. Mantera apa itu, bagaimana bisa dia mengucapkan mantera yang begitu sakti dengan tenang, bahkan sembari menyapu halaman.
"Hentikan manteramu!" Perintah Mirah yang sudah berdiri di dekat jendela.
"Ini bukan mantera," jawab Zaki tanpa mengeluarkan suara.
"Lalu apa? Kau menyanyikannya layaknya kidung yang indah, tapi menyakiti semuanya." Mirah berkata dengan geram.
"Hanya salah satu surah dalam kitabku." Jawab Zaki dengan singkat saja sambil kembali menyapu dengan tenang.
"Siapa kamu?" tanya Mirah dengan energi yang semakin mendekat.
"Hanya hamba Allah," jawab Zaki tanpa basa basi.
"Kau berulangkali menyebut namanya dalam kidungmu, siapa dia? ayahmu?" tanya Mirah ingin tahu.
"Tuhanku," jawab Zaki dengan tenang.
Suara tawa melengking diikuti oleh angin yang bertiup agak kencang, dedaunan itu jatuh dan menyebar lagi ke seluruh pekarangan rumah. Zaki hanya tersenyum, daun dengan mudahnya berguguran sebagaimana dengan mudahnya juga dosa tercipta. Dosa tidak akan benar bersih kalau hanya dibersihkan dengan sekali sapu saja. Seperti dedaunan ini, bahkan dari daun kering pun manusia bisa mengambil hikmah.
"Ikutlah denganku, Tuhanku adalah iblis yang tercipta dari api." Mirah mengerahkan energi dengan gelap dan pekat.
"Tidak," jawab Zaki dengan tegas.
"Dia makhluk yang paling kuat di semesta," Mirah kembali bicara.
"Apa yang bisa diberi oleh Tuhanmu kepadaku? Sedangkan dia juga hanya salah satu dari makhluk Allah." Jawab Zaki dengan mata menatap lurus ke arah jendela rumah kecil itu.
Hanya ada sekian detik suasana sunyi mencekam, hanya sebentar. Kemudian angin kembali bertiup menderu, disusul dengan awan yang semakin mendekat dan menghitam.
Mirah marah.
⚜️⚜️⚜️
KAMU SEDANG MEMBACA
Bungsu
Horror- on hold - Nyari tumbal susah 🤧 ___________________________ Suara tawa canda anak yang lain terdengar jelas, sekali lagi aku cuma bisa mendengarnya. Katanya mereka adalah kakak-kakakku, setidaknya itu yang dikatakan oleh ibu. Aku cuma bisa meliha...