Pak Gendon sejak pagi sudah tidak terlihat, mbak Nawang dan mas Damar sekolah diantarkan oleh sopir yang lain. Mas Bagas lebih suka membawa motor sendiri, mungkin sekalian mengantar jemput pacarnya. Entahlah mas Bagas sudah punya pacar atau belum. Sekolah mbak Jenar paling dekat, hanya di sebelah desa. Cukup berjalan kaki atau di antarkan becak sudah cukup.
Matahari merambat naik, panas mulai terasa menyengat di kulit. Sekali lagi ada suara kencang dari sebuah toa. Mirah tidak menyukai suara itu, 5 kali dalam sehari mereka hanya membuat telinganya sakit karena berisik.
Mirah baru saja mengelus bantal ketika terdengar suara ribut dari Pak Samsul sang tukang kebun. Mata Mirah yang sudah hampir terpejam kini terbuka lebar. Mereka memang selalu berisik.
Pak Samsul membawa berita yang menggemparkan. Pagi hari ketika ada yang mau ke hutan mencari pucuk tanaman untuk memberi makan kambing, mereka menemukan jejak ban motor mengarah ke jurang.
Begitu mereka melongok ke bawah, mereka berkata kalau mereka melihat juragan Tomo tergeletak tertindih oleh motornya sendiri. Meski mereka dengan cepat menuruni jurang untuk menolong, tapi juragan Tomo tubuhnya sudah dingin dan kaku.
Bibir Mirah menyunggingkan senyum, lelaki kurang ajar itu sudah menerima bayaran atas perbuatannya. Membayar dukun untuk mencelakai keluarga ini, juragan Tomo salah besar. Dia tidak tahu bakal berhadapan dengan siapa.
Bu Ratih menghampiri rumah kecil di ujung pekarangan, dia sudah berjanji kepada Mirah kalau dia akan mengajak Mirah jalan-jalan. Bu Ratih paham, bila Mirah berkata demikian maka sudah pasti Mirah mengajaknya pergi ke villa di kebun teh.
Gendon sudah menyiapkan banyak hal untuk kepergian Ndoronya kali ini. Seperti biasa hanya Bu Ratih dan Mirah yang pergi. Pak Bram hanya sekali ikut pergi ke sana tapi setelah itu tidak pernah lagi. Hanya Bu Ratih dan selalu Bu Ratih, juga mbok Rasmi.
Menjelang sore, rumah utama tertutup rapat. Bahkan tidak seorang abdi pun muncul di pekarangan. Bu Ratih menggandeng Mirah memasuki mobil yang sudah disiapkan oleh Gendon.
Bu Ratih bisa melihat betapa bahagianya Mirah begitu dia keluar dari rumah tempat dia dipingit. Tentu Mirah senang, dia akan mengunjungi villa kebun teh. Yang mana dia akan bebas bermain juga makan sepuasnya. Di sana juga banyak anak kecil juga bayi yang bisa dia lihat dan diajak bermain.
Seperti biasa sepanjang perjalanan pak Gendon hanya diam. Bu Ratih duduk di samping Mirah, sesekali mengunyah melati. Mobil ini pun aromanya penuh dengan dupa. Juga kemenyan dan wewangian entah apa namanya.
" Pekerjaanmu bagus nduk, ibu senang orang itu tidak mengganggu keluarga ibu." Kata Bu Ratih sambil memasukkan sekuntum melati ke mulutnya.
" Mirah sayang ibu, sayang bapak, juga sayang dengan mas dan mbak, Ndak boleh ada yang mencelakakan orang yang Mirah sayang." Jawab Mirah bersandar manja.
" Ibu tau nduk, ibu tau. Terimakasih nduk." Kata Bu Ratih membelai rambut legam Mirah.
" Mirah ingin makan besar Bu, yang tadi malam begitu menguras tenaga Mirah." Kata Mirah melemparkan sebuah permintaan.
Bu Ratih tertawa pelan, bagaimana pun Mirah masih kekanakan. Permintaannya memang selalu sepele, dia berbeda dengan Bagas, Damar, Nawang dan Jenar. Mirah cukup di sayangi dan diberi makan, dia tidak akan banyak menuntut. Mirah juga sangat penurut.
" Tentu Mirah, ibu akan beri yang kamu minta nduk." Jawab Bu Ratih dengan penuh kasih sayang.
Mobil masih melaju hingga malam menjelang, biasanya surup begini Mirah akan berangkat tidur. Tapi sekarang dia bersama dengan ibu, dia tidak akan mau menyiakan waktunya dengan tidur percuma. Mirah menikmati kebersamaannya bersama ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bungsu
Horror- on hold - Nyari tumbal susah 🤧 ___________________________ Suara tawa canda anak yang lain terdengar jelas, sekali lagi aku cuma bisa mendengarnya. Katanya mereka adalah kakak-kakakku, setidaknya itu yang dikatakan oleh ibu. Aku cuma bisa meliha...