16. Yitno Yuwono, Leno Keno

520 75 33
                                    

Perempuan yang hanya memakai kemben itu melayang di hadapan Mirah. Wangi yang tercium bercampur dengan aroma anyir dan busuk. Di dalam ruangan itu hanya ada Mirah dan perempuan itu, bahkan ibu saja tidak berani ikut bergabung bersama. Perempuan bermahkota itu tidak akan pandang bulu, dia akan menghisap semua inti sari manusia hidup yang berada di situ.

Mirah memanggil perempuan itu dengan sebutan Bunda. Perempuan yang tidak bisa menapak tanah itu setiap bulan membulat sempurna itu datang, Ibu memanggilnya dengan upacara ritual dengan beragam persembahan. Tentu tidak ketinggalan Ibu selalu memakai minyak apel jin, penganut mistis mana yang tidak paham tentang minyak itu. Minyak apel jin adalah minyak yang dipakai untuk memanggil makhluk halus, seperti Bunda Ratu.

Mirah memejamkan kedua matanya, menerima sesuatu yang membuat dirinya semakin kuat. Mirah menyukai segala yang terjadi dan berada di villa kebun teh ini. Selain Mirah bisa makan besar dan menghisapnya hingga tetes terakhir, Bunda Ratu selalu memberikan energi juga mantra. Mirah sebagai mana makhluk yang tak berwujud lain, dia sangat haus dengan ilmu dan kesaktian.

" Mirah cah ayu, lakukan tugasmu." Perintah Bunda Ratu dengan angkuh.

" Tentu Bunda, sendiko." Jawab Mirah menghormat sujud.

Gemerincing kereta nyaring terdengar, Bunda Ratu beranjak pergi. Suara itu semakin menjauh dan kian menjauh. Cukuplah untuk hari ini, Mirah dan ibu akan menginap di sini malam ini. Villa ini begitu tenang, hanya ada celotehan anak kecil dari belakang paviliun. Anak-anak itu kian lama jumlahnya semakin banyak, setiap malam purnama sudah bisa dipastikan akan bertambah satu.

Mungkin tidak perlu digambarkan sekarang di depan Mirah hamparan di meja itu seperti apa, bagi Mirah aroma ini tercium manis kayaknya mbak Jenar yang sedang menikmati sirup. Dan yang tadi, mungkin dia baru dilahirkan hari ini. Tubuhnya masih tercium daging pembungkusnya. Tapi itu bukan urusan Mirah tumbal itu dilahirkan kapan, Ibu memang hanya perlu menumbalkan bayi entah yang berupa janin maupun yang sudah lahir.

Ilmu dan lelakon hitam memang kerap meminta tumbal sebagai syarat, semakin besar yang diminta tentu persyaratan akan semakin sulit. Bukannya makhluk lembut itu minta bayaran, tentu bukan cuma itu. Makhluk seperti ini meminta banyak syarat, selain manusia harus jadi pengikutnya hingga ajal menjemputnya, juga karena hal lain. Semakin manusia melangkah lebih jauh dan membuang sisi kemanusiaannya, tentu para makhluk itu akan lebih menyayanginya.

Bu Ratih sejak lama menanggalkan sisi kemanusiaannya, dia seorang wanita juga seorang ibu. Pasti dia sangat bisa mengingat waktu yang dia habiskan ketika menimang putra putrinya yang masih terbungkus bedong jarik. Tentu dia masih mengingat tangisan pertama dari anak-anaknya ketika mereka dilahirkan. Tapi ketika dia ngelmu dan memohon kepada Bunda Ratu, Bu Ratih menyatakan sanggup memberikan seorang bayi di tiap malam purnama apabila Bunda Ratu mengirimkan salah satu putrinya.

Sisi kemanusiaan Bu Ratih memang dia tanggalkan, ditukar dengan kenikmatan dunia yang dia dapatkan dengan mudah. Harta yang berlimpah itu membuat keluarganya mahsyur hingga ke desa di seberang gunung. Siapa yang tidak kenal dengan Bu Ratih dan Pak Bramantyo, tuan tanah yang baik dan ramah dan gemar menolong sesama. Tapi manusia tidak akan pernah merasa cukup, harta memang tidak akan sempurna tanpa tahta.

Bu Ratih menyampaikan kepada Bunda Ratu, dia menginginkan tahta. Setelah beberapa orang lelaki datang ke rumah dengan memakai baju seragam. Lamat-lamat Mirah mendengar sedikit, katanya mereka itu orang partai. Mirah sejak awal mencium keserakahan, dan ternyata kabar dari langit yang dia curi dengar tidak salah. Manusia-manusia itu sedang menjalani takdirnya yang konon sudah tertulis. Mirah bahagia, dia sudah tahu ini akan berakhir seperti apa. Jemari Mirah mengusap pinggir meja yang meneteskan sesuatu dan mengulumnya, manis.

" Kamu suka Nduk?" Sapa Bu Ratih dengan wajah tegang dan menahan mual, siapa yang tidak mual ketika memasuki ruangan yang berisi dengan potongan tulang dari makhluk kecil yang belum tersentuh dosa. Manusia seperti apa yang sanggup mengorbankan kaumnya untuk kesenangannya semata.

" Mirah senang Ibu, terimakasih." Jawab Mirah menyeringai tertawa.

Bu Ratih dulu tidak familiar dengan suara makhluk seperti ini, tentu Bu Ratih ketakutan sampai hampir pingsan. Tapi sekarang tidak, puluhan purnama itu menjadikan Bu Ratih jadi terbiasa. Bu Ratih merasa dia sudah mampu mengendalikan Mirah yang disebut dengan putri bungsunya. Bu Ratih yang malang, seandainya Bu Ratih membuka mata hatinya, tentu yang terjadi adalah kebalikannya. Bu Ratih hanya menjadi budak saja.

Bu Ratih memanggil Pak Gendon yang sejak tadi berada di luar ruangan itu, tentu Bu Ratih meminta agar pak Gendon membereskan semuanya. Mbok Rasmi memang masih menjilati tulang yang berserakan itu, tapi mbok Rasmi memang seperti itu. Dia tidak akan berhenti kalau Mirah tidak menyuruhnya berhenti. Mbok Rasmi juga makhluk sejenis dengan Mirah, persembahan tumbal seperti ini dia juga ikut menikmati dengan suka cita meski hanya sisa.

Mirah menghabiskan malam purnamanya dengan puas seperti biasa. Setelah makan besar dia bergelayut manja kepada Bu Ratih. Hanya di villa ini saja Mirah merasakan kasih sayang utuh tanpa harus dibagi. Bila kembali ke rumah Mirah akan kembali ke tempat yang tersembunyi. Mirah memang putri bungsu Bu Ratih yang sangat istimewa, tidak semua orang akan sanggup memandang wujudnya. Meski Mirah menguasai berbagai mantra pengubah wujud, tapi dia menyukai wujudnya yang sekarang. Ibu selalu memujinya cantik, dengan rambut panjang yang legam itu. Tentu saja Mirah percaya.

Dalam perjalanan pulang Mirah memandang tubuh ibunya terguncang ketika mobil melewati jalanan yang rusak, tubuh pak Gendon juga sama. Tapi Mirah dan mbok Rasmi tetap tenang, mereka berdua memang bukan makhluk fisik. Mereka berdua tidak akan bisa terbentur dengan zat padat yang berada di atas bumi ini. Malam purnama berikutnya masih lama, Mirah akan bersabar. Waktu di dunia manusia berjalan lebih cepat daripada di alamnya sendiri.

" Kamu melihat apa Nduk?" Tanya Bu Ratih ketika melihat putri bungsunya menatap ke luar dengan pandangan yang sulit diartikan.

Mirah menatap jauh ke lembah gunung, ada sebuah makhluk yang tingginya hampir sama dengan kerangka besi menjulang tinggi yang tertanam di antara persawahan itu. Mirah tahu jenis apa dia, makhluk bertanduk lancip itu adalah jin purba,  usianya sudah ribuan tahun. Jin jenis ini jarang sekali bisa dilihat oleh manusia, mereka lebih suka menyepi dan tersembunyi. Mereka seperti raksasa dan tinggal di lingkungan seperti kerajaan Jin.

Makhluk seperti jin purba itu sangat sakti, di antara mereka bahkan ada yang sanggup memahami bahasa manusia modern tersulit sekalipun. Mereka tinggal di dimensi yang sulit ditemukan oleh manusia, seperti di tengah lautan ataupun di gunung lebat. Mirah pernah mendengar ada beberapa manusia congkak dengan sombongnya dia memiliki khodam jin purba, sangat bodoh sekali. Jin purba tidak akan mau menghamba kepada siapapun. Dari semuanya hanya satu manusia yang bisa memahami dan menundukkan semesta dari berbagai dunia, jin dan manusia juga binatang, Mirah pernah mendengar namanya Sulaiman.

" Tidak ada Ibu." Jawab Mirah menyeringai memamerkan gigi kecilnya yang runcing.

" Jawab Mirah menyeringai memamerkan gigi kecilnya yang runcing

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BungsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang