Semalam hujan turun bagai tumpah, gemeretak air yang berjatuhan teredam oleh atap yang terbuat dari tanah yang tercetak menjadi genting. Cuaca memang sedang buruk, angin bertiup dan membawa bulir air menembus celah genting dan menetes masuk ke dalam rumah.
Hujan memang bagaikan tumpah, ketika air bertemu bumi dia mengalir ke tempat yang lebih rendah. Perlahan menyusuri setiap celah dan mengajak debu dan tanah hingga mereka bersatu menjadi lumpur.
Hujan terkadang menjadi berkah tapi sekaligus menjadi bencana.Pagi ini beberapa lembar kabut masih menyelimuti, meski matahari sudah beranjak naik dan udara menghangat. Para kakak Mirah terlihat mau berangkat sekolah. Mbak Nawang dan mas Damar akan berangkat bersama sopir, sementara mbak Jenar naik becak bersama Amongnya. Yang berbeda hanya mas Bagas, mas Bagas lebih suka menaiki motornya sendiri.
Jemari Mirah mengelus helai gorden yang berada di balik jendela. Kaca ini tidak pernah dibersihkan, dia terlihat buram dari dalam maupun luar. Tapi apa urusannya dengan kaca, tanpa itu Mirah pun masih bisa melihat kemana pun dengan sangat baik. Termasuk melihat kakaknya yang sudah remaja itu menuntun sebuah motor berwarna hitam.
Mirah menyunggingkan senyum simpul, makhluk itu masih berdiam di sana setelah beberapa minggu lamanya. Mas Bagas itu orangnya kuat, tidak akan mudah ditembus meski tanpa perlindungan Mirah. Tapi kenapa Mirah harus melindungi, bukankan cinta itu demikian indah. Mirah merasa dia masih kecil, dia tidak akan mencampuri urusan dua hati, dan sebuah makhluk yang mulai bisa berbisik dan membelai hati mas Bagas.
Cinta itu memang lucu, dia bisa saja membuat orang gelap mata. Kalimat cinta ditolak dukun bertindak memang masih banyak yang terjadi. Mereka tidak memahami akibat dari perbuatan mereka. Mereka tidak memahami ada makhluk lain yang juga terlibat. Manusia memang terkadang bisa berpikir picik, hanya untuk menyalurkan nafsu ingin memiliki dia bisa mencelakakan dirinya sendiri tanpa dia sadari.
Pintu kamar Mirah berderit pekan, Bu Ratih datang membawa nampan berisi sarapan untuk anak bungsunya. Mirah tidak banyak membutuhkan makan, tanpa makanan seharian pun dia tidak akan kelaparan. Tapi bila ibu memberinya makan, siapa yang akan menolak. Mirah tidak menuntut banyak hal, hanya makanan dan kasih sayang ibu saja dia sudah merasa cukup.
" Ibu ... !" Pekik Mirah bahagia seakan tidak percaya. Memang tidak biasa ibunya berkunjung sepagi ini, ibunya hanya berkunjung ketika hari sudah menjelang malam atau ketika fajar hampir datang.
" Nduk, kamu tampak senang." Sapa Bu Ratih yang segera memeluk putri bungsunya. Beberapa hari ini Bu Ratih memang tidak mengunjungi Mirah, dia terlalu sibuk dengan segala urusan. Bu Ratih tidak bisa menyerahkan semuanya kepada suaminya, Bu Ratih memang yang mengendalikan semuanya.
Mirah merasakan fisik pakaian ibunya yang berenda itu di pipinya, ibunya memang tampak cantik. Apalagi dengan aura yang terpancar dengan bantuan sebuah makhluk bermahkota namun mempunyai sisik itu. Susuk itu memang kuat sekali, membuat ibu demikian cantik dan orang lain segan sekaligus memuja.
" Ibu hanya sebentar Nduk, Ibu harus segera ke sawah dan ladang. Tadi malam hujan lebat dan angin begitu kencang." Kata Bu Ratih yang jemarinya menelusup di antara helaian rambut legam yang indah.
" Apa yang ibu kuatirkan?" Tanya Mirah ingin tahu. Apakah ibunya lupa, itu hanya angin dan hujan. Alam sedang menyeimbangkan dirinya dengan menumpahkan air dari awan dan menghembuskan angin.
" Ibu kuatir, tanaman yang siap panen itu pada roboh Nduk." Jawab Bu Ratih menyuarakan kekuatiran. Tanaman itu sudah siap panen beberapa Minggu depan. Bila mereka rusak maka kerugian bisa besar sekali.
" Kecemasan ibu berlebihan, tentu Mirah sudah mengurus semuanya." Jawab Mirah yang masih juga memeluk tubuh Bu Ratih.
" Ibu tidak lupa nduk, kamu demikian hebat. Apa yang sudah kamu lakukan?" Tanya Bu Ratih membelai kembali rambut putri bungsunya.
" Mirah memerintahkan mereka menaungi sawah dan ladang menghalau hujan, Mirah suruh mereka memasang badan menghalau angin." Jelas Mirah dengan bangga kepada ibunya.
" Terimakasih Nduk, ibu senang mendengarnya. Terimakasih." Kata Bu Ratih yang memeluk Mirah dengan erat.
" Nanti Ibu kirim ayam ingkung juga kemenyan di punden dekat pohon beringin itu Bu, mereka sepertinya lapar setelah bekerja keras." Kata Mirah yang memerintah ibunya secara halus.
Bu Ratih mengangguk bahagia, tidak sia-sia memang Bu Ratih mengasuh putri bungsunya ini. Meskipun dia sedikit aneh tapi Bu Ratih sangat menyayanginya. Mirah adalah pelindung keluarga Bramantyo. Sejak Mirah bersama mereka, hasil panen melimpah ruah. Siapapun yang akan mencelakakan keluarga ini pun akan musnah dan lenyap.
Pandangan Bu Ratih terlempar keluar, sebuah mobil pickup tua terlihat memasuki halaman samping rumah. Bu Ratih segera berpamitan kepada putrinya, dan menjanjikan mereka akan pergi ke villa untuk berpesta nanti ketika purnama. Mirah sudah banyak membantu, tentu Bu Ratih akan melaksanakan kewajibannya sebagai ucapan terimakasih juga sebagai syarat.
Mirah menganggukkan kepalanya begitu Bu Ratih berpamitan. Mirah memandang keluar menembus jendela kaca itu. Tamu itu lagi yang datang, entah sudah berapa kali mereka datang. Seorang lelaki berusia hampir 35 tahun beserta ibunya yang berusia lebih dari setengah abad.
Sejenak Mirah merasa kasihan, lelaki itu terlihat kuyu. Mirah pernah mendengar ibunya bercerita ketika bersama dengan ibu Mirah, kalau lelaki ini lemah dan sakit-sakitan. Ibunya sedikit kuatir, putranya ini juga kerap kali gelisah. Mirah hanya mendengar ibunya hanya menghibur perempuan itu. Dan mendoakan agar semua baik-baik saja.
Mirah melengos dengan pandangan mata yang tajam. Tentu saja tidak akan baik-baik saja. Bagaimana lelaki itu tidak mudah lelah dan berjalan agak membungkuk. Seorang makhluk berpakaian putih dan berambut panjang itu hinggap dan memeluk punggungnya setiap waktu.
Makhluk yang tidak terlihat oleh mata manusia biasa itu selalu menempel di situ. Mirah menyunggingkan senyum tipis dan menyapa, makhluk parasit itu menyeringai membalas Mirah dengan senyum yang lebar memamerkan giginya yang jelek. Dia benar-benar makhluk yang kurang ajar.
Makhluk seperti ini memang banyak, mereka hinggap di tubuh manusia dan merasa nyaman sehingga tidak mau pergi. Tidak ada urusan dengan manusia yang mereka sakiti. Lagipula manusia itu tidak akan paham, mereka hanya akan merasa mudah lelah dan energi terkuras habis. Makhluk bermulut lebar itu beraura merah dan kuning.
Makhluk kurang ajar, dia ini berwujud kuntilanak yang berambut panjang dan mata yang sedikit menyeramkan. Betapa dia berada di situ hingga lelaki itu sampai terbungkuk. Mirah membalikkan badannya, dia tidak ada urusan dengan kuntilanak yang sombong itu. Dia berilmu tinggi, tapi dia lebih memilih hidup dengan menempel di tubuh manusia sebagai inang.
Seandainya dia cantik seperti bunga anggrek milik ibu pasti mata ini tidak akan terganggu. Dia ini makhluk buruk rupa meski sakti. Dia mendapat makanan dan kekuatan dari menyerap sari pati dan energi lelaki itu. Tidak hanya itu, kuntilanak ini juga menghalangi sehingga lelaki itu tidak berjodoh dengan gadis manapun. Jelas tidak aneh ketika dia menjadi bujang lapuk.
Mirah menyesap minumannya, dia melihat di kejauhan sosok Hayati sedang melempar senyum manis dan menabur bibit cinta. Mas Bagas yang menyandang tas sekolahnya menoleh sesaat dan membalas senyum. Ahhh permainan memang baru dimulai.
Mirah kembali menyesap minumannya, merah dan manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bungsu
Horror- on hold - Nyari tumbal susah 🤧 ___________________________ Suara tawa canda anak yang lain terdengar jelas, sekali lagi aku cuma bisa mendengarnya. Katanya mereka adalah kakak-kakakku, setidaknya itu yang dikatakan oleh ibu. Aku cuma bisa meliha...