Jauh dari rumah Bu Ratih, di sebuah rumah kecil berpekarangan luas. Yang mana di situ tinggal sebuah keluarga besar, dan memiliki putri yang sudah remaja. Dari yang lainnya putri yang ini terlihat lebih manis. Orang desa memanggilnya dengan Mbak Hayati.
Di suatu malam ketika semua sedang terlelap, Hayati mengambil kerudungnya dan berpakaian menutup auratnya. Dia duduk bersila menghadap ke arah barat, dengan perlahan dia membuka gulungan kertas yang dia dapatkan dari seseorang.
Hayati dulu pernah berpacaran dengan seseorang, cah Bagus teman sekolahnya. Tapi karena suatu sebab hubungan mereka kandas, hayati masih belum ikhlas. Dia mencari cara agar bisa kembali kepada mantannya, beragam cara dia lakukan untuk menarik perhatiannya namun sia-sia. Jadi tulisan di kertas ini juga amalannya akan menjadi senjata terakhirnya.
" Aku tidak putus asa, aku hanya berusaha." Kata Hayati pelan membenarkan perbuatannya sendiri.
Sebelum melakukan ritualnya, hayati sempat keluar kamar sebentar. Memastikan semua keluarganya sudah tidur, tentu saja keluarga Hayati tidak ada yang tahu. Meski hidup mereka terkadang kekurangan, tapi keluarga Hayati tidak berurusan dengan klenik. Entah tidak mau atau cuma tidak paham. Dia kembali duduk bersila seperti tadi.
Hayati dengan khusyuk dan penuh pengharapan membaca setiap petunjuknya. Mulai membunyikan mantera 3x, dilanjutkan dengan komat kamit membaca sesuatu hingga 7x. Hayati kemudian menyebutkan nama targetnya. "Bagas Bramantyo."
Puter giling mungguh ing giri wisesa, anurunaken saring bayu, guruning pangucap, guruning peninggal, guruning pamiyarso.......
Bibir Hayati terus merapalkan ajian puter giling sukmo, berharap Bagas putra sulung keluarga Bramantyo sang tuan tanah dari desa sebelah kembali memalingkan hatinya melihat Hayati lagi. Hayati terus merapalkan mantera hingga 33x.
Hayati sudah melangkah terlalu jauh, dia berusaha masuk ke dalam hati manusia. Entah dia kurang tau akibatnya atau memang tidak perduli. Yang Hayati tahu dia cuma diajak temannya menemui seseorang yang pintar dalam mempraktekkan ilmu pengasihan.
Sementara itu di rumah keluarga Bramantyo, malam tetap gelap gulita seperti biasa. Cahaya berasal dari sorot sinar bulan dan beberapa obor yang dipasang di beberapa sudut pekarangan. Tentu saja di sini sudah mengenal listrik, tapi cara hidup yang demikian sudah menjadi kebiasaan para warga yang hidup di sana.
Tengah malam semua penghuni rumah jelas tertidur, apalagi sejak surup anak-anak keluarga Bramantyo dilarang bermain di luar rumah. Lingkungan pedesaan di sini berada di tepi hutan, perbukitan dan sungai. Ada banyak makhluk yang tidak berwujud fisik yang bergentayangan.
Meski surau di tengah desa selalu mengumandangkan adzan 5 waktu dalam sehari, kehidupan para lelembut di daerah itu tetep bergeliat seperti biasa. Di pohon besar tetap banyak bergelantungan kunti dan temannya. Juga sekelebat wujud bocah kecil berkepala gundul yang hanya mengenakan cawat berwarna putih.
Mirah yang sedang menikmati cahaya bulan yang sedikit tertutup awan. Awan yang di sana itu Mirah pernah pergi ke sana dulu. Sebuah negeri Mara Kahyangan, tempat tinggal para jin yang bersayap dan bisa terbang. Mereka berpenampilan lebih elok daripada makhluk halus lainnya. Kalau mbak Jenar yang menyebutnya pasti akan menyebut dengan sebutan peri.
Memang bicara tentang hal gaib, 95% sudah pasti menyerempet tentang jin. Entah itu tuyul, peri, hantu, Kunti, siluman atau iblis. Mereka tercipta sama-sama dari api. Selayaknya manusia mereka juga memiliki kasta. Selayaknya manusia, mereka juga ada yang baik dan buruk.
Sekali lagi Mirah merasakan sekelebat energi yang berputar memasuki rumah, Mirah cuma tersenyum. Semesta memang tidak pernah salah alamat, hanya dengan menyebut namanya saja mantra bisa tersampaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bungsu
Horror- on hold - Nyari tumbal susah 🤧 ___________________________ Suara tawa canda anak yang lain terdengar jelas, sekali lagi aku cuma bisa mendengarnya. Katanya mereka adalah kakak-kakakku, setidaknya itu yang dikatakan oleh ibu. Aku cuma bisa meliha...