Bu Ratih menggigil meski cuaca tidak dingin, dia tidak masuk ke dalam rumah setelah keluar dari rumah kecil itu. Tubuhnya terduduk dan menunduk seperti menghitung pasir dalam kegelapan. Bulan itu sudah hampir membulat dan janin Hayati masih juga belum bisa dikunci. Mbah Sukro yang kuat itu sudah meninggal, sedangkan dukun lainnya tidak ada yang bisa diandalkan seperti dia. Bu Ratih seperti sudah dikejar target, impiannya menjadi bu Camat itu besar adanya dan harus tercapai.
Angin lembut membelai, disusul siluet dingin yang berlalu lalang membangunkan bulu kuduk. Bu Ratih tahu yang baru saja dia lakukan itu tidak benar, dan didalam hati dia sangat menyayangkan kenapa harus anak muda itu yang memergokinya tengah malam buta di kandang ayam. Bocah perjaka berparas menarik itu terlihat cerdas dan tidak banyak tingkah, bisa saja nantinya bisa bu Ratih ajari dia mengurus kebun dan mencatat hasil pertaniannya. Sekarang dia berada di dalam dengan putri bungsunya yang mana perangainya tidak bisa ditebak.
Bisa saja malam ini adalah pertemuan terakhirnya dengan anak muda itu, sayang sekali. Berkali bu Ratih menepis dan membuang sisi kemanusiaannya sama seperti ketika dia meletakkan janin berlumuran darah ataupun bayi kecil dengan tangisnya itu di atas altar di villa kebun teh. Dia sudah melangkah terlalu jauh, yang diinginkan sudah tidak lagi harta melainkan juga tahta. Anjing hutan kembali melolong seram, bu Ratih kembali menunduk, entah apa yang sedang terjadi di dalam.
Sebenarnya kalau mau dihitung, korban yang ditimbulkan atas keserakahan bu Ratih tidaklah sedikit. Setiap purnama selalu saja ada bayi ataupun janin yang jantungnya telah berdetak. Setiap ada yang mengganggunya, si bungsu akan segera dilepas untuk menghakiminya untuk kepuasan dendamnya. Beberapa abdinya juga sama, beberapa di antara mereka mati dengan tidak wajar, tentu saja setelah si bungsu datang mengunjungi.
Putri bungsunya semakin kuat dari hari ke hari, nyanyian tembangnya juga semakin lama semakin mencekam. Dia gadis kecil yang manis meski dengan perwujudan seperti itu, ketakutannya ditepis jauh demi pundi kekayaan yang harus bertambah. Makhluk kecil yang dititipkan kepadanya dengan imbalan tumbal setiap malam bulan purnama, yang terkadang lebih manja daripada Jenar.
"Bu, Bapak cari kemana-mana," pak Bram menghampiri bu Ratih yang terduduk dalam selimut kegelapan malam.
Bu Ratih mendongak, sosok suaminya segera menghampiri dan mengulurkan tangannya. Suami yang sangat dia cintai sepenuh hati, yang menjadi salah satu alasannya memutuskan mengambil pesugihan yang sedikit unik ini. Seseorang dulu menawarkan pesugihan tanpa tumbal dari gunung Kemukus, tapi bu Ratih tidak bisa melakukannya. Berhubungan badan dengan orang yang bukan suaminya sendiri itu seperti menjijikkan dan tidak akan pernah bu Ratih lakukan.
"Ada apa?" tanya pak Bram begitu mendekat.
"Ibu menaruh Zaki di dalam Pak," jelas bu Ratih sembari menunduk.
Pak Bram terkejut, tapi sepertinya tidak banyak yang bisa dilakukannya. Tidak ada orang asing yang boleh ke sana atau akan sangat berbahaya. Gadis kecil itu dengan pemikiran sederhananya, menganggap semua orang yang diantarkan ke tempatnya dan ditinggalkan sendirian adalah korbannya. Apa yang terjadi pada anak muda itu bisa saja sama dengan yang dialami oleh beberapa anak muda yang pernah datang waktu dulu. Pak Bram menghampiri kamar itu pada waktu subuh dan melihat si bungsu sedang menari dan mbok Rasmi memakan sisa-sia bagian tubuh yang telah dibantai itu.
"Bu, kita sudah terlalu jauh. Hentikan ini," ucap pak Bram.
"Kita sudah terlanjur berdosa Pak, apa Bapak lupa? Perjanjian itu berlaku selamanya, kita tidak akan pernah berhenti." Bu Ratih menjawab.
Rintik hujan mulai turun mulai dari tetes kecil hingga seperti ditumpahkan saja dari langit. Bulan yang tadi terlihat gendut namun belum bulat itu sudah menghilang begitu juga taburan bintang itu. Pak Bram menuntun istrinya kembali masuk ke dalam rumah, ini sudah tengah malam dan masih banyak yang harus diselesaikan esok hari. Pak Bram merasa gagal menjadi seorang kepala keluarga, keinginan istrinya terlalu besar untuk dia penuhi dengan mengandalkan keringatnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bungsu
Horror- on hold - Nyari tumbal susah 🤧 ___________________________ Suara tawa canda anak yang lain terdengar jelas, sekali lagi aku cuma bisa mendengarnya. Katanya mereka adalah kakak-kakakku, setidaknya itu yang dikatakan oleh ibu. Aku cuma bisa meliha...