Kebiasaan setelah Bu Ratih bepergian yang kata orang hanya berdua saja dengan pak Gendon, Bu Ratih selalu membuat selametan. Entah apa yang Bu Ratih syukuri hingga membuat syukuran seperti itu.
Tapi para abdi tidak pernah bertanya, kebiasaan demi kebiasaan hanya mereka telan begitu saja. Mendapatkan pekerjaan di keluarga Pak Bramantyo saja sudah bagus, setidaknya gaji yang pasti akan mengalir ke kantongnya.
Para warga di desa sebagian besar bergantung pada hasil bumi dan bercocok tanam. Sebagian dari mereka juga berternak, entah ikan atau unggas, tiap rumah sudah bisa dipastikan mempunyai ayam, beberapa dari warga juga punya kambing dan sapi.
Jadi sudah pasti ketika tidak berada dalam musim tanam atau panen, para perempuan banyak menganggur hanya mengerjakan pekerjaan rumah saja. Makanya banyak yang datang kepada Bu Ratih meminta pekerjaan. Entah jadi abdi atau bekerja di lahan perkebunan.
Kembali ke suasana dapur yang aromanya tercium sedap. Dapur yang masih menggunakan tungku tradisional memakai kayu bakar ini demikian khas. Khas aroma kayu terbakar bercampur aroma nasi yang sedang diaron.
" Ayamnya sudah siap Min?" Tanya Bu Ratih kepada Minah, salah satu abdinya.
" Masih dipanggang Ndoro," jawab Minah sopan sambil menghentikan pekerjaannya memarut kelapa ketika Bu Ratih bertanya.
" Pastikan ayamnya empuk ya, ayam jago itu sudah tua. Dagingnya pasti agak alot." Kata Bu Ratih kepada para abdinya.
" Inggih Ndoro," jawab para abdi yang berada di dapur serempak.
Bu Ratih tersenyum puas, para abdinya sangat mudah diatur. Nanti biar pak Marto dan anaknya yang mengundang para tetangga untuk bersantap bersama di rumah. Tadi para abdi juga membuat berkatan, untuk para tetangga dibawa pulang setelah bersantap.
Para abdi tidak banyak bicara hingga Bu Ratih meninggalkan dapur, Bu Ratih tidak terbiasa marah-marah kecuali memang abdi melalaikan dan melanggar aturannya. Tapi entah kenapa aura Bu Ratih seperti tidak bisa ditolak segala ucapannya. Menimbulkan rasa segan juga takut dalam waktu bersamaan.
Bu Ratih berdiri di teras belakang, memandang lurus ke ujung pekarangan. Sebuah rumah kecil yang salah satu ruangannya ditinggali oleh Mirah. Seperti biasa rumah itu senyap, setiap bagian rumah dan pekarangan di dalam pagar itu terlihat selalu bersih.
Perjalanan kemarin menguras emosi dan energi Bu Ratih, tapi bagaimana lagi itu sudah kewajibannya setiap bulan purnama. Membawa Mirah ke sana dan membiarkannya bersantap sepuasnya sebelum kanjeng Gusti Ratu muncul.
" Matursuwun Nduk, terimakasih." Gumam Bu Ratih sambil memandangi rumah kecil itu.
Sejak Mirah bersama keluarga mereka, perekonomian keluarga memang meningkat tajam. Bu Ratih berasal dari keluarga yang kaya, dari keluarganya lah Bu Ratih mengenal berbagai ilmu klenik. Bu Ratih menganut paham kejawen, dia orang Jawa tulen.
Bakda magrib para tetangga akan berdatangan ke rumah. Jadi sore hari tumpeng demi tumpeng sudah tertata rapi, demikian juga berkatan yang terdiri dari nasi lengkap dengan lauk, juga jajanan basah lain.
Mbak Nawang dan Jenar duduk bersama memandangi tumpeng yang berjajar seperti pegunungan, ada yang besar dan kecil. Hanya di rumah ini mereka melihat dalam satu tampah tumpeng ada beberapa buah. Biasanya mereka melihat tumpeng hanya sebuah gunungan besar yang dikelilingi oleh lauk.
" Ada apa Nduk? Kok kayak bingung?" Tanya Bu Ratih yang sedang merapikan tusuk kondenya.
" Ini lho Buk, tumpengnya kayak pegunungan." Kata Jenar menunjuk bentuk tumpeng yang mengerucut.
" Iya Nduk, memang dibentuk seperti itu. Menyerupai gunung untuk memuliakan gunung tempat tinggal para sang hyang dewa dewi." Jawab Bu Ratih.
" Buk, biasanya tumpeng itu cuma sebuah gunungan. Tapi tumpengnya ibuk selalu ada banyak?" Tanya Nawang yang begitu penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bungsu
Horror- on hold - Nyari tumbal susah 🤧 ___________________________ Suara tawa canda anak yang lain terdengar jelas, sekali lagi aku cuma bisa mendengarnya. Katanya mereka adalah kakak-kakakku, setidaknya itu yang dikatakan oleh ibu. Aku cuma bisa meliha...