Sesuai dengan perintah gurunya, kyai Subakir, Zaki berangkat menyeberangi alas menuju kediaman keluarga Bramantyo. Beberapa kali dia disapa oleh warga yang sedang menggembala kambing, ataupun yang baru pulang dari sawah. Lingkungan di sini masih belum banyak tersentuh oleh kebudayaan modern, kebanyakan mereka masih menggantungkan diri dengan hasil alam.
Tidak banyak yang Zaki persiapkan, dia hanya membawa beberapa helai pakaian yang sekiranya pantas untuk bekerja dan beribadah, juga keperluan lainnya yang dia letakkan dalam bungkusan yang terbuat dari kain sarung. Penampilannya juga terlihat sederhana, selain dari penampilan fisiknya yang memang terlihat demikian bersih.
Rumah dengan adat Jawa dengan pekarangan yang demikian luas itu sudah berada di depannya. Zaki menghela napas perlahan, menutup segala energi dari dalam dirinya. Menyisakan hanya seperlunya saja, dia akan terlihat seperti manusia biasa saja sekarang, tanpa pegangan dan kekuatan apapun. Meski mata batinnya masih juga tajam seperti biasa.
Seorang abdi menyambutnya dengan ramah dah mengantarnya ke ruang tamu, ndoro putri Ratih masih mandi. Abdi tadi menyuguhkan secangkir kopi hitam pekat dan sepiring singkong rebus. Kopi masih mengepul hangat, aroma singkong yang juga masih hangat itu juga sesekali menyapa. Hidangan khas di pedesaan, kopi tubruk dan kudapan agak berat.
Zaki hanya menunduk, ruangan ini pun dipenuhi oleh semburat cahaya berwarna, kuning terlihat sangat mendominasi. Tanpa melihat pun Zaki bisa tahu, ada sebuah makhluk yang sedang menggantung pada kayu panjang yang melintang menyangga atap. Di setiap sudut ruangan juga ada makhluk lembut yang berdiam. Tidak aneh, bukankah memang banyak makhluk lembut yang tinggal di rumah warga, juga mengais makanan dari situ.
Kembali hawa terasa bergetar, mungkin hanya bagi Zaki. Ketika Bu Ratih muncul dengan kebaya dan riasan khas Jawa. Seorang wanita berumur 40 an yang masih terlihat bugar. Dengan susuk emas yang tertanam di wajahnya, yang didiami oleh makhluk cantik setengah ular. Bibir Bu Ratih pun sama saja, pantas sekali kabar burung menyatakan, Bu Ratih sangat berwibawa, segala ucapannya menggetarkan lawannya.
" Nunggu lama kamu Le?" Tanya Bu Ratih yang segera duduk di atas sebuah kursi kayu yang berukir.
" Inggih Ndoro," jawab Zaki sopan.
" Sepurane yo Le, kata mbak Rum tadi katanya kamu butuh kerjaan. Rumahmu di mana? Kok aku ndak pernah lihat." Lanjut Bu Ratih sembari memandangi pemuda yang duduk bersimpuh di depannya.
" Saya berasal dari seberang alas Ndoro," jawab Zaki dengan sopan.
" Kamu masih muda, orang tuamu di mana? Sudah minta ijin kamu sama Ibu Bopo-mu?" Tanya bu Ratih kembali.
" Saya yatim piatu Ndoro," jawab Zaki tanpa berdusta.
" Owalah Le, gini yo. Bukannya sombong, saya punya persawahan, perkebunan, juga peternakan. Kamu pinternya yang mana?" Tanya Bu Ratih.
" Saya berharap dipekerjakan saja di rumah ini Ndoro, saya bisa merawat taman, mengurus binatang peliharaan. Ayam bekisar di samping rumah tadi sepertinya agak kurang diperhatikan." Jawab Zaki.
" Saya ndak ngerti ingon-ingon, itu punya bapak. Masih ada unggas lain juga kambing, kelinci dan kucing peliharaan anak-anakku. Bisa kamu urus?" Tanya Bu Ratih.
" Bisa Ndoro," jawab Zaki yang begitu lega.
" Sukurlah kalo begitu, sesekali bantu pak Samsul mengurus halaman juga kebun belakang ya. Oya, siapa namamu cah Bagus?" Tanya Bu Ratih.
" Saya, Zaki Bu." Jawab Zaki masih dengan sikap hormat.
" Nama yang bagus Le, saya ndak memberi gaji lebih kepada semua yang kerja sama saya. Saya cuma memberikan yang sepantasnya saja, tapi kalau kamu kerja di rumah, kamu bisa tinggal di sini, makan dan minum kamu ndak usah kuatir." Kata Bu Ratih menjelaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bungsu
Horror- on hold - Nyari tumbal susah 🤧 ___________________________ Suara tawa canda anak yang lain terdengar jelas, sekali lagi aku cuma bisa mendengarnya. Katanya mereka adalah kakak-kakakku, setidaknya itu yang dikatakan oleh ibu. Aku cuma bisa meliha...