Fajar muncul dengan sinarnya yang hangat, kicau burung bersahutan terdengar menyenangkan. Suasana tenang khas sebuah perkebunan memang sering membuat diri nyaman. Bu Ratih dan Mirah menyukai villa ini.
Bapak hanya sesekali kemari, bapak kurang menyukai suasana villa yang dingin dan suram. Mas dan Mbak juga tidak ada yang kemari, padahal villa ini tidak terlalu buruk. Bangunan kokoh khas peninggalan jaman Belanda ini begitu angkuh sekaligus anggun.
Ada banyak sekali jendela kaca di sini, atap yang tinggi dan ubin yang klasik membuatnya sempurna. Villa ini besar, cukup besar ketika diisi hanya oleh pak Gendon, Mbok Rasmi, Bu Ratih juga Mirah.
Di belakang villa ada sebuah paviliun, Mirah sering melihat banyak anak kecil bermain. Entah di mana orang tua mereka, Mirah pernah bertanya pada Ibu tapi Ibu me jawab tidak tahu. Mirah bersyukur, meski dia dipingit setidaknya dia masih punya bapak dan Ibu, juga kakak yang tidak pernah menemuinya.
" Mirah tidak menyukainya Bu," suara Mirah memecah keheningan.
Ibu yang duduk tenang di atas ayunan dengan memangku Mirah hanya terdiam. Matahari di ujung timur masih muncul malu-malu. Para manusia banyak terlihat memanggul keranjang menyusuri jalan yang membelah kebun teh.
" Sudah takdirnya begitu nduk, sudah nasibmu seperti itu." Jawab Bu Ratih yang mengelus putri di pangkuannya.
" Takdirku sudah ditentukan, nasibku bukan aku juga yang menentukan Ibu," sahut Mirah lirih.
" Kamu semakin lama semakin bijak Nduk, Ibu merasa seperti bicara dengan orang dewasa." Balas Bu Ratih dengan penuh welas asih.
" Ibu mengajari Mirah banyak hal," jawab Mirah.
" Ibu ngajari Mirah banyak hal, tentang diri tentang semesta, tentang jati diri selayaknya ibu ini wanita Jawa." Jawab Bu Ratih dengan cerdas.
" Wanita ? Wanita Jawa?" Tanya Mirah kebingungan. Kalimat Ibu memang terkadang terlalu sulit untuk dicerna, lebih mudah bagi Mirah berdialog dengan makhluk yang melayang tanpa bisa menginjak tanah itu. Tentu saja tidak bisa menginjak tanah, mereka ditolak oleh bumi.
" Wanita itu, bukan wani ditata, tapi wani ing tata. Ini konsep luhur Jawa nduk, sayang sudah diplesetkan sebagai bentuk reduksi yang diselipkan secara tersembunyi pada sistem patriarki." Jelas Bu Ratih panjang lebar.
Mirah hanya mendengar, ucapan Ibunya terlalu panjang untuk dia pahami. Mirah juga cerdas, tapi kemampuan mencerna kalimat yang seberat itu dia masih kebingungan.
" Masih sulit untuk dingerti ya nduk? Wanita itu wanodya, putri. Simbol multifungsi peran nduk, sebagai pengasuh, pendidik dan penyeimbang. Itulah yang ibu lakukan nduk." Jelas Bu Ratih.
Mirah mengangguk pelan, ibunya sangat pintar dan cerdas. Mirah bahagia mempunyai ibu seperti Bu Ratih. Wanita yang kuat dan bisa mengendalikan. Ibu tidak perlu jimat akik seperti bapak, dengan isi khodam macan dan satu lagi berisi punggawa kakek-kakek tua.
Mereka menikmati kebersamaan berdua, meski Bu Ratih terlihat letih. Tentu saja Bu Ratih letih, sejak sampai Bu Ratih tidak sempat beristirahat. Setelah menyiapkan santapan bagi Mirah, Bu Ratih melakukan ritual pemanggilan bunda Ratu.
Setiap bulan terlihat membulat mereka selalu berada di villa ini, villa yang kata orang demikian angker. Tentu saja angker, ada beberapa tumbal penjaga yang berada di rumah ini. Dan di ruang tamu, ada ubin yang terlihat berbeda dari yang lainnya. Begitu dihentak dengan kaki, terdengar suara bergaung seakan ada ruangan di bawahnya.
Tidak ada yang tahu ruangan apa itu, tidak ada jalan apapun yang menuju ke sana. Bu Ratih tidak pernah membicarakannya, Pak Gendon juga tidak banyak bicara. Siapa pula yang bertanya, abdi yang bekerja membersihkan villa ini cuma ada sepasang suami istri. Mereka juga memilih diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bungsu
Horror- on hold - Nyari tumbal susah 🤧 ___________________________ Suara tawa canda anak yang lain terdengar jelas, sekali lagi aku cuma bisa mendengarnya. Katanya mereka adalah kakak-kakakku, setidaknya itu yang dikatakan oleh ibu. Aku cuma bisa meliha...